Liputan6.com, Purwokerto - Pertemuan itu sungguh menguras emosi. Sebulan lebih, mahasiswi itu tak bertemu dengan perempuan yang sudah dianggap ibu keduanya. Salinem, 65 tahun, menitikkan air matanya.
Salinem adalah penyintas bencana longsor pada 18 Juni 2016 lalu di Dusun Plandi Desa Watuagung, Kecamatan Tambak, Banyumas, Jawa Tengah. Luthvera Nur Pramesti adalah mahasiswi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman.
Sejak longsor itu Luthvera menjadi relawan mendampingi penyintas. Ia tergabung dengan kelompok relawan Tambak Crisis Center.
"Ibu, kemarin saya pulang ke Boyolali karena disuruh bapak harus pulang ke rumah," ujar Luthvera membuka obrolan dengan Salinem di rumah pengungsian, Kamis 1 September 2016.
Advertisement
Obrolan di rumah pengungsian itu terlihat gayeng atau menyenangkan. Sehari sebelumnya, mereka mendapat kabar Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo akan membantu proses relokasi 15 rumah korban longsor.
"Saya akan berkoordinaasi langsung dengan kementerian di Jakarta agar proses relokasi ini bisa cepat," kata Ganjar.
Menurut dia, 15 rumah yang lokasinya berada di bawah tebing setinggi 200 meter sudah tidak layak untuk ditempati. Padahal dalam beberapa bulan ke depan sudah memasuki musim penghujan sehingga ditakutkan ada longsor susulan.
Ganjar menyebutkan, ada dua lokasi yang disiapkan untuk merelokasi warga. Satu lahan yang berada di tengah perkampungan dan satu lahan lagi di lahan milik Perhutani.
"Untuk yang lahan Perhutani, saya yang urus sedangkan untuk lahan milik pribadi nanti Bupati Banyumas yang mengurusnya," kata Ganjar.
Bupati Banyumas, Achmad Husein, sudah memerintahkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Banyumas untuk mensurvey lokasi lahan relokasi. "Badan Geologi Dinas ESDM akan melihat, apakah lahan tersebut layak untuk relokasi atau tidak," tutur dia.
Untuk membebaskan lahan dan pembangunan rumah relokasi dibutuhkan anggaran sekitar Rp 1 miliar. Selain itu, dia menambahkan, pihaknya juga berencana untuk meledakkan enam batu besar yang ada di tebing karena sewaktu-waktu bisa meluncur ke rumah-rumah.
Ketua Rukun Warga 8 Dusun Plandi, Suratman mengatakan sambil menunggu proses relokasi, saat ini warga yang terancam longsor ditampung di pengungsian sementara. "Mereka kini harus tinggal di pengungsian ini karena rumah sudah harus dikosongkan," ujar Suratman.
Agar bisa didengar pemerintah, kata dia, sejumlah perjuangan harus dilakukannya bersama relawan Tambak Crisis Center. Salah satunya adalah membangun opini dengan berkampanye di media sosial.
Menurut dia, penanganan bencana di tempatnya memang tergolong lambat. Alat berat untuk membuka akses yang yang mengisolasi mereka baru datang setelah sebulan bencana.
Selain itu, mereka baru ditemui oleh pejabat daerah setelah bencana yang menimpa mereka diberitakan oleh media massa. Ia bahkan harus pontang-panting ke sana-ke mari untuk menyuarakan nasib warganya.
PR Usai Bencana
Bencana longsor Tambak memang meluluhlantakkan sejumlah rumah dan fasilitas umum. Jembatan, jalan dan sarana air bersih hilang tergerus longsor. Seperti disampaikan sang relawan, Luthvera.
"Tapi trauma pascabencana juga seharusnya diperhatikan oleh pemerintah," kata Luthvera.
Menurut dia ada belasan anak kecil yang masih trauma saat hujan turun. Mereka adalah saksi langsung luruhnya tebing setinggi 200 meter yang menerjang rumah mereka.
Sebagai bentuk pendampingan terhadap penyintas anak-anak, Luthvera dan teman-temannya kerap melakukan kegiatan bersama anak-anak. Mereka belajar fotografi hingga pameran. Lalu belajar bermain musik dengan melibatkan musisi-musisi mahasiswa dari kampus.
"Tujuannya agar mereka segera bangkit dan melupakan bencana itu," tutur dia.
Fery, 7 tahun, salah satu anak yang rumahnya terkena longsor kini sudah mulai tegar menghadapi kenyataan. Ia yang kerap menangis hingga kejang-kejang saat hujan turun, kini sudah mulai bisa tersenyum.
"Dulu Fery tidak mau bermain dengan kami, sekarang sudah mau," kata Putra, 12 tahun, anak yang dituakan oleh anak-anak kecil di situ.
Dhani Armanto, aktivis lingkungan Komunitas Peduli Gunung Slamet mengatakan, penanganan pascabencana kerap dilupakan oleh pemerintah. "Padahal dalam undang-undang kebencanaan, trauma healling juga wajib diberikan agar mereka bisa bangkit lagi," tutur Dhani.
Ia mengapresiasi sejumlah elemen masyarakat sipil di Banyumas, Malaysia, Singapura, hingga Taiwan yang ikut membantu perbaikan sejumlah fasilitas umum yang rusak. Masjid yang rusak sudah diperbaiki.
Jembatan dan perbaikan sarana air bersih juga sudah selesai diperbaiki melalui gerakan Saling Bantu. Hal ini dituturkan pengusaha dari Sumatera yang pulang kampung untuk ikut membantu korban bencana, Surwaryo.
"Manajemen bencana sebenarnya bisa dilakukan oleh BPBD dan masyarakat asal mereka paham undang-undang kebencanaan dan peraturan lainnya," kata Suwaryo.
Suwaryo kini bisa bernapas lega, kampung halamannya sudah mulai bangkit. Roda perekonomian juga mulai berjalan kembali.
Luthvera terlihat larut dalam obrolan ibu-ibu penyintas. Gosip seputar kampung pun mengalir dalam obrolan itu.
Secangkir kopi hitam yang berasal dari hutan di pinggir kampung menemani obrolan siang itu. Kacang goreng hasil sangrai dapur si empunya rumah pun ludes dalam sekejap. "Dari bencana ini, saya mempunyai keluarga baru."
Advertisement