Liputan6.com, New York - Harga minyak mentah dunia naik terpicu laporan pekerjaan Amerika Serikat (AS) yang lebih rendah dari perkiraan pada bulan Agustus. Namun harga ini masih lebih rendah dari awal pekan di tengah kekhawatiran membanjirnya pasokan.
Melansir Wall Street Journal, Sabtu (3/9/2016), harga minyak mentah AS untuk pengiriman Oktober ditutup naik US$ 1,28 atau 2,97 persen menjadi US$ 44,44 per barel di New York Mercantile Exchange. Sementara harga Brent, patokan minyak global, naik US$ 1,38 atau 3,04 persen ke posisi US$ 46,83 per barel.
Meski naik namun harga minyak di akhir pekan ini susut 6,72 persen. Ini menjadi penurunan satu pekan terbesar sejak Juli di tengah kekhawatiran tentang kekenyangan pasokan akan berlangsung lama dan skeptisisme bahwa produsen utama benar-benar akan menindaklanjuti pembicaraan untuk membatasi pasokan ketika negara anggota Organisasi Pengekspor Minyak (OPEC) bertemu di Aljazair pada akhir bulan ini.
Baca Juga
Advertisement
Harga minyak naik pada Jumat setelah Departemen Tenaga Kerja mengatakan data pekerjaan lebih rendah pada bulan lalu. Nonfarm payrolls naik 151 ribu di bulan lalu. Sementara para ekonom memproyeksikan pekerjaan akan bertambah 180 ribu pada bulan Agustus.
Meskipun harga naik di Jumat ini, beberapa pengamat pasar mengatakan mereka khawatir kelebihan pasokan akan terus membebani harga, terutama karena musim panas segera berakhir dan beberapa penyulingan akan memasuki pemeliharaan musiman.
"Saya tidak akan terkejut melihat harga yang lebih lemah. Prediksi kami harga minyak mentah kembali turun ke kisaran US$ 40, dan bahkan mungkin pergi sedikit lebih rendah," ujar Tariq Zahir, Anggota Tyche Capital Advisors.
Reli harga minyak berlanjut meskipun dolar AS menguat. Biasanya penguatan dolar menjadi hambatan pada harga minyak karena membuat komoditas ini lebih mahal bagi para pedagang yang melakukan bisnis dalam mata uang lainnya.
Selama berminggu-minggu pelaku pasar telah menimbang laporan dari eksportir minyak utama, mencoba untuk menentukan apakah kesepakatan untuk membatasi produksi kemungkinan terjadi. Pasar mendapat dorongan setelah Presiden Rusia Vladimir Putin menyerukan produsen minyak untuk setuju membatasi output ketika anggota OPEC bertemu akhir bulan ini.
Sebuah inisiatif serupa gagal pada April, ketika Arab Saudi mundur dari kesepakatan setelah Iran mengatakan tidak akan bergabung pada kesepakatan sampai mencapai tingkat produksi minyak pra-sanksi.
"Rasa takut, intervensi, Putin melakukan gebrakan hari ini, dan yang lain berpotensi untuk mengikuti, mungkin akan membantu pasar untuk menstabilkan harga," kata Ole Hansen, Kepala Strategi Komoditas di Saxo Bank.
Namun banyak analis tetap tidak yakin, menunjuk kondisi produksi minyak di Arab Saudi yang tinggi pada bulan Agustus, dan indikasi Putin bahwa Iran bisa dibebaskan dari setiap perjanjian soal produksi.(Nrm/Ndw)