Ahok: Tak Ada Pengembang Reklamasi Keberatan Tambahan Kontribusi

Ahok memberi opsi kepada pengembang reklamasi dalam pembayaran tambahan kontribusi 15 persen kali NJPO dari total lahan yang dapat dijual.

oleh Oscar Ferri diperbarui 05 Sep 2016, 11:03 WIB
Gubernur DKI Jakarta Basuki T Purnama saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (25/7). Ahok menjadi saksi terkait kasus suap proyek reklamasi. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta Gubernur DKI Jakarta Ahok mengaku memberikan opsi kepada pihak pengembang reklamasi dalam pembayaran tambahan kontribusi 15 persen kali NJPO dari total lahan yang dapat dijual. Tambahan kontribusi 15 persen itu dibebankan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kepada pihak pengembang yang memegang izin prinsip dan izin pelaksanaan reklamasi pulau.

Hal itu diungkapkan Ahok saat bersaksi dalam sidang lanjutan terdakwa Mohamad Sanusi dalam kasus dugaan suap pembahasan Raperda Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP) dan pencucian uang.

Kata Ahok, opsi yang diberikan kepada pengembang adalah pembayaran tambahan kontribusi di awal atau di akhir. Jika pembayaran di akhir maka pengembang sendiri yang rugi karena harus membayar sesuai‎ NJOP pada tahun dibayarkan. Akhirnya para pengembang membayar tambahan kontribusi itu di awal.

"Saya sampaikan pada pengembang, Anda bisa bayar di depan apa di belakang. Kalau Anda membayar lebih lama, silakan saja, karena pasti dikali NJOP pada tahun dibayarkan. Itu yang dorong mereka membayar di depan," ujar Ahok saat bersaksi di Pengadilan Tipikor‎, Jakarta, Senin (5/9/2016).

Menurut pemilik nama Basuki Tjahja Purnama ini, cara tersebut yang dipakai Pemprov DKI agar tidak mengalami kerugian dalam pembangunan reklamasi ini. Minimal, tidak terjadi tawar menawar lagi antara Pemprov DKI dan pengembang.

Ahok mengakui, sejumlah perusahaan pengembang membayar di muka tambahan kontribusi itu. ‎Misalnya PT Muara Wisesa Samudera (MSW) selaku anak perusahana PT Agung Podomoro Land (APL) yang membayarkan tambahan kontribusi dengan cara pembangunan rusunuwa di Daan Mogot.

"Sudah. Rusun di Daan Mogot dan Muara Baru. Termasuk beberapa jalan inspeksi. Itu dari PT Muara Wisesa Samudera, Agung Podomor Grup. Perusahaan lain belum serahkan," ucap mantan Bupati Belitung Timur tersebut.

Kata Ahok, dirinya juga pernah melakukan pertemuan dengan beberapa pengusaha selaku pengembang reklamasi. Dalam pertemuan hadir juga ‎Ariesman Widjaja yang waktu itu masih menjadi Presiden Direktur PT APL, dan juga perwakilan dari pengembang lain.

"Tidak ada yang berani ngomong keberatan. Semuanya iya iya saja. Makanya saya kaget begitu ada kasus ini," ucap Ahok.

Jaksa mendakwa Sanusi menerima suap Rp 2 miliar dari Ariesman Widjaja melalui asisten Ariesman, Trinanda Prihantoro. Diduga suap Rp 2 miliar itu ditujukan dengan maksud, Sanusi selaku anggota DPRD DKI dan Ketua Komisi D DPRD DKI 2014-2019 dapat membantu percepatan pembahasan dan pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKSP).

Suap juga dimaksudkan agar Sanusi mengakomodir pasal-pasal sesuai keinginan Ariesman selaku Presdir PT APL dan Direktur Utama PT Muara Wisesa Samudra (MSW). Tujuannya, agar PT MSW mempunyai legalitas untuk melaksanakan pembangunan di Pulau G kawasan Reklamasi Pantura Jakarta.

Atas perbuatan itu, Sanusi yang juga adik kandung Wakil Ketua DPRD DKI Mohamad Taufik tersebut didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.‎

Selain itu, Jaksa juga mendakwa Sanusi dengan pencucian uang.‎ ‎Sanusi didakwa melakukan pencucian uang dengan membelanjakan atau membayarkan uang senilai Rp 45.287.833.733 (Rp 45 miliar lebih) untuk pembelian aset berupa tanah dan bangunan serta kendaraan bermotor. Tak cuma itu, Sanusi juga menyimpan uang US$ 10 ribu dalam brankas di lantai 1 rumahnya di Jalan Saidi I Nomor 23, Kelurahan Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Uang senilai Rp 45 miliar lebih itu didapat Sanusi dari‎ para rekanan Dinas Tata Air Pemerintah Provinsi DKI Jakarta‎ yang merupakan mitra kerja Komisi D DPRD DKI. Para rekanan Dinas Tata Air Pemprov DKI itu dimintai uang Sanusi terkait pelaksanaan proyek pekerjaan antara tahun 2012 sampai 2015.

Atas perbuatannya, Jaksa mendakwa Sanusi dengan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya