Liputan6.com, Jakarta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ardito Muwardi merespons pernyataan saksi ahli yang dihadirkan pihak terdakwa Jessica Kumala Wongso dalam kasus kematian Wayan Mirna Salihin.
Dalam persidangan ini, ahli patologi forensik dari Australia Beng Beng Ong menyatakan sulit menyimpulkan kematian Mirna akibat sianida. Apalagi, jenazah Mirna tidak diautopsi menyeluruh.
Advertisement
"Dia (ahli) bukan toksikolog, dan tidak bisa meyakini 100 persen kalau mati karena sianida. Artinya kalau mati karena sianida juga bisa. Pandangan beliau itu karena tidak dilakukan autopsi penuh," ujar Ardito di sela-sela persidangan, PN Jakarta Pusat, Senin (5/9/2016) malam.
Ardito menuturkan, bagi sejumlah dokter forensik, tindakan autopsi memang menjadi standar umum. Tidak dipungkiri, bahwa beberapa ahli forensik yang dihadirkan JPU pada persidangan sebelumnya juga menyebut autopsi penting.
"Namun kondisi sosial dan kondisi masyarakat kita yang memberikan penilaian, memberikan penghormatan sedemikian rupa terhadap jenazah, sehingga menghambat autopsi seratus persen," kata dia.
Selain kondisi sosial, aturan hukum di Indonesia juga tidak mengharuskan dilakukannya autopsi. Bahkan di beberapa negara maju, kata dia, autopsi sebisa mungkin tidak dilakukan.
"Ada teknologi untuk tidak dilakukan autopsi penuh. Bisa dilakukan dengan mengamati. Keharusan autopsi tidak jadi sebuah yang mutlak dilaksanakan. Memang autopsi golden standart tidak bisa dipungkiri," tandas Ardito.
Kematian Wayan Mirna Salihin masih menjadi mesteri. Dia tewas sesaat setelah minum es kopi Vietnam yang dipesankan Jessica Kumala Wongso di Kafe Olivier, Jakarta Pusat, pada 6 Januari lalu.
Dalam kasus ini, Jessica didakwa telah meracuni Mirna. Dia dituding menaruh racun sianida ke dalam gelas kopi yang diminum Mirna. Jessica didakwa Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana dengan ancaman kurungan seumur hidup atau hukuman mati.