Dituding Tak Konsisten soal Cuti Kampanye, Ini Jawaban Ahok

Pernyataan Ahok pada 2012 dianggap tidak sinkron dengan pengajuan uji materinya saat ini terhadap Pasal 70 ayat 3 UU Pilkada.

oleh Liputan6 diperbarui 06 Sep 2016, 05:58 WIB
Gubernur DKI Jakarta, Basuki T Purnama saat mengikuti sidang lanjutan di MK, Jakarta, Senin (5/9). Ahok menjalani Sidang Lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden dan DPR. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias [Ahok]( 2594849 "") dalam keterangan presiden dan DPR di sidang uji materi atau judicial review dituding tak konsisten. Sebab, pernyataan Ahok pada 2012 dianggap tidak sinkron dengan pengajuan uji materinya saat ini terhadap Pasal 70 Ayat 3 UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.

Pada Pilkada 2012, Ahok pernah meminta petahana Fauzi Bowo untuk cuti selama masa kampanye. Sedangkan, dalam pengajuan uji materinya per tanggal 10 Agustus 2016, ia ingin agar aturan cuti kampanye petahana tidak lagi menjadi sebuah keharusan karena merupakan sebuah hak bukan kewajiban.

"Bahwa setiap tindakan dan ucapan kepala daerah merupakan cerminan atas konsistensi seorang negarawan. Hal ini sebagaimana pernah diucapkan pemohon pada 6 Juni 2012 saat hendak mencalonkan diri sebagai wakil gubernur DKI yang mengatakan' Bukan soal takut tidak cuti tidak masalah, hanya saja kami mau Jakarta sebagai contoh penegakan semua undang-undang. Kalau sampai gubernur DKI tidak mengambil cuti, nanti seluruh daerah akan mencari cara-cara seperti ini'", ujar Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pujianto di Mahkamah Konstitusi, Senin, 5 September 2016.

Menanggapi hal ini, Ahok menuturkan bahwa kronologi Pilkada yang terjadi empat tahun silam tidak bisa disamakan dengan kondisi saat ini. Pada Pilkada 2012, Ahok mencatat bahwa kampanye petahana Fauzi Bowo dilakukan pada saat hari Sabtu dan Minggu atau pada saat malam hari. Namun, dengan metode kampanye seperti itu, petahana tidak mendapatkan cuti.

"2012 on off malahan. Makanya, itu on off. Kalau Sabtu Minggu dianggap enggak cuti. Ingat enggak Sabtu Minggu? Sabtu Minggu dianggap enggak cuti, kampanye malam enggak cuti. Itu yang saya bilang kenapa tidak kasih cuti? Tapi cutinya jangan empat bulan dong," sebut Ahok.

Mantan Bupati Belitung Timur ini juga menganalogikan kondisi petahana nantinya yang dinilai sangat tidak fair jika harus cuti hingga empat bulan lamanya.

"Misalkan kalau saya mesti memaparkan visi misi saya di paripurna DPRD sama calon. Itu dianggap gara-gara memaparkan satu hari (visi misi), enggak sampai setengah hari lalu harus cuti empat bulan. Enggak wajar juga," ujar Ahok.

Maka dari itu, Ahok menegaskan bahwa keberatannya hanya terletak durasi cuti kampanye. "Saya hanya mau proses cutinya kelamaan. Itu sih sebetulnya. Karena dulu kampanye hanya 2 minggu sekarang empat bulan enggak masuk akal," Ahok memaparkan.


Soal Wewenang Petahana

Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama memberikan kesaksian dalam sidang terdakwa mantan anggota DPRD DKI, Mohamad Sanusi di Pengadilan Tipikor, Senin (4/9). Ahok menjadi saksi atas kasus dugaan suap raperda tentang reklamasi. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Setelah mendengarkan keterangan dari DPR RI dan presiden terkait uji materi (judicial review) Pasal 70 Ayat 3 UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, pemohon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok tak begitu setuju dengan pertimbangan penolakan uji materi karena alasan penyalahgunaan wewenang petahana.

Permasalahan penyalahgunaan wewenang oleh petahana, menurut Ahok, bukan lagi menjadi masalah baru. Meski harus dipermasalahkan sekalipun, Ahok menyarankan partisipasi Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai jalan pintasnya. Bukan dengan penerapan sistem cuti bagi petahana pada saat kampanye yang dinilainya terlalu lama.

"Kalau kamu takut kita menyalahkan wewenang (petahana) pakai Bawaslu dong. Kalau takut menyalahkan wewenang, dari tahun-tahun lalu juga bisa kenapa baru sekarang dipermasalahkan," komentar Ahok di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin, 5 September 2016.

"Namanya juga petahana kalau gitu kenapa enggak bilang aja kalau petahana tidur aja di rumah enggak usah kerja?" Ahok menimpal.

Ahok lagi-lagi menegaskan bahwa yang ia ingin perjuangkan dalam uji materi adalah masa cuti kampanye yang terlalu panjang. Jika dibandingkan dengan peraturan terdahulu, petahana hanya perlu cuti selama dua minggu. Jauh berbeda dengan peraturan saat ini yang mengharuskan petahana cuti empat bulan.

"(Pemotongan cuti) Yang saya maksudkan. Yang saya ajukan itu bukan katakan dia membias seolah-olah saya adalah orang yang ingin menuntut kalau kampanye itu saya boleh on off. Enggak, saya hanya protes cutinya kelamaan. Itu sih sebetulnya," ucap mantan Bupati Belitung Timur ini.

Menanggapi keterangan presiden dan DPR yang tak memberikan peluang "lolos" pada pengajuan uji materinya, Ahok tetap optimistis dan menyerahkan semua keputusan kepada MK sebagai lembaga berwenang.

"Optimis aja lah. Itu dia gunanya saya bawa ini ke MK. Biar MK saja yang putusin," ujar Ahok.


4 Pertimbangan Presiden

Gubernur DKI Jakarta, Basuki T Purnama berbincang dengan bakal calon kepala daerah Aceh Barat, Fuad Hadi saat sidang lanjutan Uji Materi Pasal 70 ayat 3 UU Pilkada mengenai cuti selama kampanye di MK, Jakarta, Senin (5/9). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Adapun salah satu dari sekian pertimbangan presiden yang menguatkan alasan penolakan uji materi Pasal 70 ayat 3 UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 adalah posisi petahana kepala dan wakil kepala daerah yang tidak bisa dipungkiri memiliki keunggulan dibandingkan dengan kandidat-kandidat lainnya.

"Ada beberapa pertimbangan penting petahana dalam praktek demokrasi memang memiliki keuntungan dibandingkan calon lainnya," ujar Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pujianto membacakan keterangan presiden di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin, 5 September 2016.

Dibacakan oleh Widodo Sigit Pujianto, petahana pertama-tama memiliki kebijakan penuh dalam mengalokasikan anggaran daerah untuk melancarkan kemenangan petahana bersangkutan pada Pilkada periode berikutnya. Petahana dinilai kerap menarik perhatian masyarakat dengan melakukan aksi sosial dan pemberian dana hibah.

"Pertama, petahana punya kebijakan dalam pengalokasian anggaran dalam motif memenangkan Pilkada. Petahana sering menarik perhatian masyarakat melalui dana hibah dan kebutuhan ekonomi lainnya dalam wilayah pencalonan," Widodo menerangkan.

Petahana juga dinilai memiliki tunjangan dan fasilitas yang lebih menunjang dibanding kandidat-kandidat non-petahana untuk meningkatkan peluang elektabilitas (keterpilihan) dengan menekan biaya kampanye sekecil mungkin.

"Kedua, petahana mempunyai tunjangan dan fasilitas yang menunjang. Seringkali fasilitas yang dimilki dipakai untuk meningkatkan peluang keterpilihan dengan biaya kampanye yang sekecil-kecilnya," lWidodo menambahkan.

Pertimbangan ketiga, petahana di wilayah manapun memiliki program-program kerja selama masa jabatan yang bisa membantu proses pemenangannya dalam Pilkada periode selanjutnya. Dari program tersebut, petahana dapat mensosialisasikan nilai-nilai maupun visi misi kerjanya secara nyata dan cepat kepada masyarakat luas.

"Ketiga, petahana mempunyai berbagai program kerja yang bisa membantu melancarkan proses pemenangannya," kata Widodo.

Dan pertimbangan yang keempat, sebagai seorang petahana, akses untuk memobilisasi para Pegawai Negeri Sipil (PNS) pun jauh lebih besar. Pihak kepresidenan menilai hal ini menjadi dasar pemerintahan yang berujung kepada praktik promosi, demosi, dan mutasi yang tidak sesuai prosedur.

"Keempat, petahana punya akses besar untuk mobilisasi PNS. Yang sering membuat iklim pemerintah tidak kondusif dan berujung pada praktik promosi, demosi, dan mutasi yang tidak prosedural," sebut Widodo.

Maka atas empat pertimbangan di atas, pemerintah mengeluarkan revisi UU Nomor 1 Tahun 2015, tentang Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur,  Bupati, dan Wakil Walikota terhadap UUD 1945 dengan UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 di mana salah satu isinya petahana yang mencalonkan diri kembali, selama masa kampanye harus cuti dalam waktu yang ditentukan untuk menghindari praktik pelanggaran selama proses Pilkada berlangsung.


Ahok Dianggap Tak Etis

Ekspresi Gubernur DKI Jakarta, Basuki T Purnama saat mengikuti sidang lanjutan di MK, Jakarta, Senin (5/9). Ahok menjalani Sidang Lanjutan Uji Materi Pasal 70 ayat 3 UU Pilkada mengenai cuti selama masa kampanye. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Agenda sidang ketiga uji materi (judicial review) terhadap Pasal 70 Ayat 3 UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016, Senin, 5 September 2016, adalah membacakan keterangan DPR RI dan presiden terkait permohonan UU Pilkada yang bersangkutan.

Dalam keterangan presiden yang diwakilkan oleh Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Widodo Sigit Pujianto, dinyatakan bahwa perilaku Ahok melakukan pengujian materi terhadap UU Pilkada merupakan hal yang tidak etis. Perilaku tersebut dinilai tak etis lantaran setiap kepala dan wakil kepala daerah, termasuk Jokowi-Ahok pada saat terpilih di Pilkada 2012 lalu, telah membacakan janji untuk melaksanakan kewajiban dan tugas mereka terhadap nusa dan bangsa.

"Dalam pasal 1 uu a quo, pemohon (Ahok) membacakan janji 'Kami berjanji akan memenuhi janji sebagai gubernur/wakil gubernur akan menjalankan kewajiban dan UU berbakti pada nusa dan bangsa. Hal ini berarti mereka sudah berjanji utk melaksanakan, tidak etis kalau melakukan uji materi," tutur Widodo dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin, 5 September 2016.

Menurut pihak kepresidenan, uji materi hanya tergolong etis jika melalui proses koordinasi dengan pemerintah pusat. Uji materi pun dilakukan, dalam surat keterangan presiden, jika UU bersangkutan dinilai sangat penting dan krusial kerugian konstitusionalnya.

"Tidak etis (uji materi) jika tanpa koordinasi dengan pemerintah pusat. Kalau dinilai sangat penting, seharusnya didiskusikan dengan pemerintahan pusat untuk dicarikan solusi terbaik," kata Widodo.

Lebih lanjut dikatakan Widodo, persyaratan yang tertera pada objek ad quo sudah sejalan dengan institusi negara, dalam hal ini UUD 1945, sehingga tidak perlu untuk diuji kebenarannya.

"Persyaratan yang diatur dalam objek a quo sudah sejalan dengan institusi yang menggambarkan kedaulatan masyarakat dalam rangka pelaksanan pembangunan negara," Widodo menjelaskan.

Dua keterangan dari DPR RI maupun presiden pada sidang uji materi UU Pilkada ini sama-sama menolak seutuhnya pengajuan tiga pemohon, yakni Perkumpulan TemanAhok dengan nomor surat 54/PUU-XIV/2016, Bakal Calon Bupati Aceh Barat Fuad Hadi dengan nomor surat perkara 55/PUU-XIV/2016, dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan surat perkara 60/PUU-XIV/2016.

Agenda berikutnya, yakni keterangan saksi ahli dan pihak terkait (KPU) akan dilansungkan pada Kamis, 15 September 2016 pukul 11.00 WIB di Mahkamah Konstitusi.


Penolakan Presiden

Senyum Gubernur DKI Jakarta, Basuki T Purnama saat menghadiri sidang lanjutan di MK, Jakarta, Senin (5/9). Ahok menjalani Sidang Lanjutan dengan agenda mendengarkan keterangan Presiden dan DPR. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Widodo Sigit Pujianto membacakan keterangan presiden terkait uji materi yang dilakukan oleh tiga pemohon terhadap UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin, 5 September 2016.

Secara garis besar Widodo membacakan 36 poin keterangan presiden yang isinya menolak keseluruhan pengujian UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wakil Walikota terhadap UUD 1945 yang isinya sebagai berikut:

Berdasarkan keterangan berikut di atas pemerintah memohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, memutus permohonan pengujian UU Nomor 8 Tahun 2015, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan UU Nomor 1 Tahun 2015, tentang peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur,  Bupati, dan Wakil Walikota terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 untuk memberikan keputusan sebagai berikut:

1. Menerima keterangan pemerintah secara keseluruhan.
2. Menolak pengujian para pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya menyatakan pengujian para pemohon tidak dapat diterima.
3. Memutuskan bahwa objek permohonan yang diajukan oleh para pemohon tidak bertentangan dengan undang-undang.

Penolakan ini, dalam surat keterangan Presiden yang dibacakan oleh Widodo, tidak dianggap menyebabkan kerugian institusional dan tidak bertentangan dengan UU maupun UUD 1945. Oleh karenanya, presiden menyerahkan seluruh keputusan akhir kepada majelis hakim.

"Terhadap beberapa ketentuan yang telah diujikan selain yang pemerintah sampaikan penjelasannya, pemerintah menilai tidak terdapat suatu permasalahan konstitusional sehingga pemerintah menyerahkan kepada majelis hakim apakah objek permohonan ad quo bertentangan dengan UUD 1945 atau tidak," kata Widodo di Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin, 5 September 2016.

Selain itu, dalam poin 14 surat keterangan presiden dinyatakan bahwa posisi petahana kepala atau wakil kepala daerah tidak bisa disamaratakan dengan kandidat-kandidat nonpetahana lainnya. Bahkan, menurut surat yang dikeluarkan presiden beserta Mendagri Tjahjo Kumolo dan Menhumkam Yasonna H Laoly tersebut, petahana kerap kali tertangkap basah menyalahgunakan sumber daya yang secara hukum susah dibuktikan.

"Posisi petahana tidak sama dengan calon lain. Ada ketimpangan. Petahana setidaknya lebih unggul dan istimewa. Bahkan penyalahgunaan sumber daya sering digunakan namun secara hukum susah dibuktikan karena sifatnya abstrak," tutur Widodo.

Adapun agenda sidang ke-3 uji materi ini sekaligus merangkum ketiga permohonan dengan nomor surat perkara 54/PUU-XIV/2016, 55/PUU-XIV/2016, dan 60/PUU-XIV/2016 terkait UU Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 yang dianggap bertentangan dengan sejumlah pasal dalam UUD 1945. (Winda Prisilia)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya