Liputan6.com, Yogyakarta - Difa City Tour and Transport merupakan ojek yang dikemudikan para sopir difabel di Yogyakarta. Dengan keberadaannya, para sopir ojek difabel kini semakin percaya diri.
Pendiri Difa, Triyono, mengatakan Difa muncul karena banyak pihak yang tidak mau memberi kesempatan para difabel untuk berkembang seperti mereka yang normal. Untuk itu, Difa berusaha mandiri dalam menciptakan kesempatan tersebut.
Hingga saat ini, sebanyak 15 pengemudi difabel yang bergabung di Difa mampu mengisi harinya meraup rezeki. Triyono menyebut para sopir ojeknya mulai mapan setara di mata masyarakat.
"Mereka sudah mapan sekarang. Indikasinya sudah banyak mereka ada yang mau buat rumah sendiri ada yang mau nikah. Wani rabi (berani nikah) setelah itung-itung, mereka sekarang ada yang berani pacaran," kata Triyono di kantor Difa Pakualaman kepada Liputan6.com, akhir pekan lalu.
Perubahan juga terlihat pada fisik para pengemudi difabel. Triyono melatih agar mitranya itu berpenampilan dengan baik. Para sopir harus wangi dan memotong rambut dengan gaya terbaru agar bisa dilihat menarik oleh pelanggan.
"Mereka mandi, wangi, mulai beli pakaian, potong rambut ngetren. Secara personalnya pelan-pelan naik sampai akhirnya mereka setara," ujar dia.
Dengan perubahan tersebut, Triyono ingin merekrut hingga 100 sopir difabel baru pada tahun ini. Menurut dia, cara itu terbukti efektif mengubah stigma negatif yang melekat di warga. Ia mengaku bangga para rekan difabelnya mulai diakui kemampuannya oleh masyarakat.
Baca Juga
Advertisement
"Dulu siapa di kampung saja enggak dikenal. Sekarang di kampung sudah setara sekarang. Mereka mapan secara ekonomi. Sekarang mulai difungsikan dari antar katering acara kampung," ujar dia.
Triyono mengatakan perlu kerja keras untuk mencapai tahap ini sebab melatih para difabel mampu mengendarai motor bukan perkara yang mudah. Butuh waktu yang lama agar para difabel ini dapat mengendarai dengan aman.
Setelah bisa mengendarai, mereka juga masih menemui masalah lainnya, seperti tabrakan, ban bocor, dan mogok. Selain itu, para ojek difabel juga terpaksa berhadapan dengan preman saat ingin mencari rezeki halal. Masalah ini membuat Difa memiliki Standard Operation System (SOP).
"Kendala banyak itu bagian pembesaran sistem ini. Kan satu individu kan satu satu masalah. Nabrak, ban bocor, ditabrak, mogok, itu kan dinamika. Belum lagi penumpangnya marah-marah. Ada yang sakit. Ya, dijalani saja," ujar Triyono.
Dengan perbaikan sistem kerja dan pelatihan, para sopir ojek Difa kini bisa meraup pendapatan Rp 100 ribu per jam. Jauh berbeda saat mereka belum berdaya. Bisa jadi mereka hanya memperoleh Rp 50 ribu sehari jika beruntung.
"Kalau enggak ada dapat order dari kantor, mereka ngetem di perempatan saja sudah selesai, kok. Nongkrong di Jombor 10 menit sampai 1 jam dapat Rp 100 ribu. Sering malah," ujar Triyono.