Pengusaha Tolak Relaksasi Kebijakan Ekspor Mineral Mentah

Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) menolak rencana relaksasi ekspor mineral mentah setelah 2017.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 07 Sep 2016, 18:02 WIB
Ilustrasi Smelter (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) menolak rencana relaksasi ekspor mineral mentah setelah 2017, yang akan dicantumkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009.

Ketua Umum AP‎3I Prihadi Santoso mengatakan, ‎dalam kondisi ekonomi global yang belum kondusif, pemerintah menyakini konsumsi dan investasi akan menjadi motor penggerak utama pertumbuhan ekonomi saat ini. Untuk itu, pemerintah harus terus memberikan dukungan ke sektor industri dengan tetap konsisten pada kebijakan yang telah dibuat. Selain itu, pemerintah dapat memberikan paket kebijakan ekonomi dalam rangka memperbaiki iklim investasi dan iklim usaha.

‎"Berdasarkan optimisme, pemerintah mematok angka pertumbuhan ekonomi 5,3 persen di tahun 2017 yang berarti lebih optimistis ketimbang target tahun 2016 sebesar 5,2 persen," kata Prihadi, di Jakarta, Rabu (7/9/2016).

Namun, menurut Prihadi, dalam kondisi pelemahan perekonomian, ada upaya mendorong kembali relaksasi ekspor mineral mentah keluar negeri. Hal ini bertentangan dengan program peningkatan nilai tambah produk pertambangan yang tercantum dalam Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Prihadi melanjutkan, dalam Peraturan Pemerintah No 1 Tahun 2014 dan Peraturan Menteri ESDM No 1 Tahun 2014, diberikan perpanjangan waktu untuk dapat melakukan penjualan produk hasil pengolahan konsentrat sampai 12 Januari 2017.

"Disadari bahwa tanggal 12 Januari 2017 merupakan batas waktu ekspor mineral olahan konsentrat, yang artinya tidak ada lagi mineral mentah yang diekspor," ungkap Prihadi.

Menurut Prihadi, jika pemerintah melakukan kebijakan relaksasi ekspor mineral mentah maka komitmen pemerintah akan dipertanyakan oleh masyarakat luas, perusahaan smelter dalam negeri, serta investor luar negeri, yang menganggap pemerintah tidak serius dan tidak mempunyai konsep yang jelas dalam melakukan program hilirisasi peningkatan nilai tambah sumber daya mineral di dalam negeri.

"Selain berdampak negatif pada iklim investasi, juga perusahaan smelter yang tidak memiliki pertambangan akan sulit mendapatkan pasokan dari dalam negeri," tutup Prihadi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya