Mau Gelar Turnamen Tenis, Eks Sekretaris MA Nurhadi Minta Rp 3 M

Permintaan tersebut terungkap dalam dakwaan Edy Nasution, terdakwa kasus suap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

oleh Oscar Ferri diperbarui 08 Sep 2016, 07:20 WIB
Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi selesai menjalani pemeriksaan terkait dugaan suap Kasubdit Perdata MA Andri Tristianto Sutrisna di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (8/3/2016). Nurhadi diperiksa KPK selama 10 jam. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Eks Sekretaris Mahkamah Agung (MA), Nurhadi Abdurrahman, beberapa kali menghiasi pemberitaan media massa nasional. Bukan karena kinerjanya selaku Sekretaris MA, melainkan dia beberapa kali terseret sejumlah perkara.

Misalnya saja dalam kasus dugaan suap Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Pada dakwaan Edy, lagi-lagi nama Nurhadi disebut.

Terungkap, Nurhadi pernah meminta uang Rp 3 miliar kepada eks Presiden Komisaris Lippo Group, Eddy Sindoro. Uang sebanyak itu diminta Nurhadi untuk keperluan turnamen tenis seluruh Indonesia yang digelar di Bali.

Permintaan duit itu bermula ketika‎ PT Jakarta Baru Cosmopolitan (JBC) yang merupakan perusahaan di bawah naungan Lippo Group menghadapi perkara terkait kepemilikan tanah punya ahli waris Tan Hok Tjie di Gading Serpong, Tangerang.

JBC mengetahui adanya permohonan eksekusi lanjutan di PN Tangerang dari pihak Tan Hok Tjie terhadap tanah yang sudah dikuasai JBC tersebut.

"Permohonan eksekusi itu diajukan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," ujar Jaksa‎ Tito Jaelani saat dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (7/9/2016).

Eddy Sindoro lantas mengutus‎ pegawai PT Artha Pratama Anugerah Wresti Kristian Hesti Susetyowati‎ untuk menemui Edy Nasution guna menolak permohonan eksekusi lanjutan tersebut. Akan tetapi, karena tidak juga ditindaklanjuti Edy Nasution, Hesti melapor ke Eddy Sindoro.


'Promotor' Andalan

Hesti lantas meminta Eddy Sindoro membuatkan memo kepada seseorang yang diistilahkan dengan 'promotor'. Promotor itu adalah Nurhadi dengan tujuan agar dibantu pengurusan penolakan permohonan eksekusi lanjutan.

Kemudian, Edy Nasution mengontak Hesti. Dia menyampaikan permintaan Nurhadi agar disiapkan duit Rp 3 miliar jika ingin pengurusan penolakan eksekusi lanjutannya 'lancar'.

"Terdakwa menyampaikan bahwa dalam rangka pengurusan penolakan atas permohonan eksekusi lanjutan, atas arahan Nurhadi, agar disediakan uang sebesar Rp 3 miliar," kata jaksa.

Mengetahui ada arahan dari sang 'promotor' soal permintaan duit Rp 3 miliar, Eddy Sindoro meresponnya. Namun, Eddy Sindoro hanya menyanggupi‎ Rp 1 miliar. Hesti selanjutnya menyampaikan ke Edy Nasution lewat telepon.

Pada percakapan nirkabel itu, Edy Nasution mengatakan kalau uang Rp 3 miliar yang diminta Nurhadi tersebut untuk keperluan menggelar turnamen tenis se-Indonesia di Bali. Masih dalam percakapan telepon itu, Edy Nasution pun menego Hesty dan menurunkan 'harga' menjadi Rp 2 miliar.

"Akhirnya, Eddy Sindoro hanya menyanggupinya dan memberikan uang sebesar Rp 1,5 miliar," ucap jaksa.

Pada dakwaan ini juga terungkap, Nurhadi tak ‎mau uang diberikan dalam bentuk pecahan rupiah. Dia menginginkan uang sebanyak itu dikirim dalam bentuk dolar Singapura.


Ilustrasi (Istimewa)

Eddy lantas memerintahkan‎ Presiden Direktur PT Paramount Enterprise International, Ervan Adi Nugroho untuk menyiapkan uang sebanyak itu. Ervan kemudian menitipkan uang tersebut kepada Hesti untuk diserahkan kepada Edy Nasution.

Selanjutnya, Hesti meminta Direktur PT Dunia Kreasi Keluarga, Doddy Ariyanto Supeno untuk memberikan uang Rp 1,5 miliar tersebut kepada Edy Nasution. Penyerahan uang itu disepakati dilakukan di Hotel Acacia, Jakarta Pusat pada 26 Oktober 2015.

Usai pemberian uang, barulah terbitlah surat jawaban dari PN Jakpus pada sekitar November 2015 atas permohonan eksekusi lanjutan ahli waris Tan Hok Tjie sesuai Putusan Raad Van Justitie Nomor 232/1937 tertanggal 12 Juli 1940.

Namun setelah diperiksa, isi surat tersebut tidak sesuai dengan permintaan yang dikirim melalui memo Eddy Sindoro kepada Nurhadi. Setelah surat dipelajari Hesti, pada pointer terakhir pada pokoknya menyatakan, "terhadap objek eksekusi yang diduduki PT JBC belum dapat dieksekusi."

Tak sesuai memo, Hesti meminta Edy Nasution merevisi atau perubahan redaksional pada pointer terakhir surat tersebut. Yang tadinya berbunyi‎ "belum dapat dieksekusi" diganti menjadi "tidak dapat dieksekusi".

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya