Liputan6.com, Jakarta Narkoba jenis heroin memang sudah lama tidak terdengar namanya di kalangan masyarakat. Dahulu kala, tepatnya pada era 1980 hingga 1990-an, narkoba jenis ini sempat merajalela di Tanah Air dan beberapa negara lainnya.
Baca Juga
Advertisement
Pada saat itu heroin membuat banyak orang penasaran, remaja kecanduan, orangtua ketar-ketir, pihak berwenang kewalahan dan sisanya merinding.
Di era yang sama sekolah-sekolah seantero Indonesia kerap mengadakan penyuluhan anti-narkoba dengan harapan murid mereka terjauh dari barang haram itu.
Umumnya seseorang yang tergolong polos akan selalu menyebut heroin ketika ditanya seputar narkoba. Ini dikarenakan gambar jarum dan suntikan selalu terngiang di kepala mereka. Itulah yang sering ditunjukkan pada saat penyuluhan.
Sayangnya dewasa ini narkoba hadir dalam berbagai macam bentuk dan menciptakan efek yang berbeda-beda.
Di antara semua yang pernah ada di muka bumi ini, heroin menjadi yang paling utama sebabkan kematian.
Istilah overdosis dan 'sakau' diasosiasikan khususnya dengan barang ini. Pecandu narkoba jenis lain masih mempunyai peluang untuk lepas dari jeratan barang haram.
Akan tetapi untuk pecandu heroin, fakta membuktikan untuk betul-betul terlepas dari jebakannya, sang pecandu harus melalui 'neraka' terlebih dahulu.
Tidak sedikit jumlah pecandu yang gagal bertahan melewati efek samping berhenti heroin. Pasalnya banyak dari mereka justru terpaksa hadapi risiko terberat yaitu, kematian.
Seperti apa itu rasanya menyuntik heroin? Mengapa pecandu mendambakannya meski harus lewati sakitnya jarum suntik dan hadapi risiko kematian? Apa yang ada di pikiran mereka saat tahu jebakannya begitu berat dan sulit untuk mencari jalan keluar?
Liputan6.com mendapatkan kesempatan untuk berbincang dengan, bukan hanya pecandu, tapi seseorang yang memainkan dua peran sekaligus yaitu, pengguna dan bandar heroin.
Tanpa mengumbar identitasnya, ini cerita langsung dari sang bandar soal bagaimana semuanya berawal dan berakhir. Mulai dari penasaran, mencoba, memakai rutin, ketergantungan, kerjasama bisnis, mengedarkan, mengelola, merajalela, lalu menyaksikan satu demi per satu pembelinya tewas.
Jatuh cinta pada suntikan pertama
Menjadi seorang anak muda yang dikendalikan ego tinggi, tentunya saya sering abaikan nasihat orang lain.
Pada saat itu heroin merupakan sebuah tren yang mana penggunanya dianggap keren.
Saya yang waktu itu sedang menduduki bangku kelas 2 SMA menghadapi tekanan dari kiri dan kanan.
Salah satu teman menawarkan heroin kepada saya. Katanya itu nikmat, hilangkan penat dan kunci agar diidolakan para kaum hawa.
Tentunya kalau sekarang dipikir-pikir, ketiga alasan tersebut tidak sama sekali masuk akal. Namun faktanya pada saat itu ketiga alasan tersebut sangat menjual, setidaknya untuk saya.
Saya lalu menerima ajakan teman dan tiga hari kemudian pergi bersamanya ke sebuah tempat yang jaraknya cukup jauh.
Jujur, lokasinya yang jauh dan daerahnya yang cukup kumuh membuat saya sangat tegang. Namun saya tetap tegar lantaran sudah terbuai dengan keuntungan-keuntungan yang sebelumnya dijelaskan kepada saya.
Di tempat itu saya melihat ada sekitar 10 orang yang sedang duduk di atas tikar dan menyuntik dirinya. Saya sudah tahu bahwa akan ada sesi seperti itu apabila terjun ke dalam dunia heroin.
Namun saya tidak pernah melihat secara nyata di depan mata orang-orang melakukan hal itu sebelumnya. Jadi, tentunya ada perasaan kaget dan penasaran yang muncul secara bersamaan.
Tanpa basa-basi kami memulai sesi injeksi tersebut. Cairan berwarna kecokelatan mengisi seperempat ruang suntikan lalu disalurkan ke dalam pembuluh darah saya.
Rasa sakit dari tusukan suntikan langsung terbayar dengan rasa nikmat yang saya rasakan beberapa menit kemudian.
Begitu nikmat seperti merasakan orgasme 10 kali tiada henti selama kurang lebih 20 menit. Di situlah saya mulai jatuh cinta pada heroin yang mana diawali dengan suntikan pertama.
Advertisement
Hidupku hampa tanpa heroin
Jatuh cinta tentunya membuat seseorang cenderung terobsesi dan tidak mau lepas dari sesuatu. Itulah yang terjadi pada saya.
Setelah diperkenalkan ke heroin, saya mulai terus menerus mencarinya. Harga buat saya tidak masalah meski mahal. Bagaimana saya bisa menolaknya? Saya sudah terlanjur terbuai oleh rasa nikmatnya.
Saya tidak pikir dua kali untuk menjual barang-barang milik keluarga hanya untuk membeli barang tersebut.
Lalu datanglah suatu momen satu setengah tahun kemudian di mana saya tidak lagi mempunyai dana untuk membeli heroin.
Badan menggigil, suasana hati kacau balau, stres tidak karuan, pening seolah kepala mau pecah, air mata mengucur tiada henti, perilaku menjadi kasar, semua saya rasakan secara bersamaan.
Kegilaan saya tentunya mengundang perhatian orang-orang di rumah. Tanpa pikir panjang, mereka membawa saya ke rumah sakit untuk dicek.
Saat dokter memberitahu mereka soal kondisi saya yang sedang 'sakau', mereka tiada henti menangis sambil mencaci-maki saya.
Tidak terima mendengar amukan keluarga, saya keesokan harinya kabur dari rumah. Lokasi pertama yang ada di pikiran saya adalah tempat saya biasa memakai yaitu, rumah si bandar.
Menjajaki karir di dunia bisnis gelap
Setibanya di rumah bandar, tentunya saya tidak langsung diterima dengan tangan terbuka.
Awal-awalnya saya diusir dan ketika saya memaksa masuk saya disiksa berkali-kali selama tiga jam. Sang bandar kemudian memberikan saya kesempatan untuk melontarkan maksud dan tujuan saya ke sana.
Sang bandar terdiam sejenak untuk berpikir. Ia kemudian memberikan saya pekerjaan: pengedar. Pengedar dalam hal ini bukan berarti bandar.
Tugas saya adalah menemukan tempat-tempat berpotensi untuk penjualan dan mengantarkannya ke pembeli dari skala kecil hingga kalangan big-spender.
Jadi kerjaan saya kurang lebih awalnya seperti kurir. Saya tidak digaji untuk kerja keras saya, namun imbalannya adalah takaran seperempat bubuk dari setiap heroin yang saya jual.
Itu menurut saya sudah lebih dari cukup karena fasilitas tempat tinggal dan lain-lain sudah ditanggung oleh sang bandar. Tidak mewah, tapi itu jauh lebih baik daripada apapun yang ada di pikiran saya sebelumnya.
Menduduki posisi teratas di dunia bisnis gelap
Tidak sedikit pun pemikiran seputar kuliah, orangtua, keluarga besar, cinta SMA selama dua tahun menjalankan peran sebagai kurir atau pengedar barang ini.
Bagaimana saya bisa ingat? Setiap harinya saya tidak pernah sadar dan bisnis berjalan lancar. Lagipula, sepertinya keluarga saya pun sudah melupakan saya sejak kaburnya saya dari rumah. Tidak pernah ada laporan pencarian orang hilang dari keluarga yang terdengar.
Daripada saya terlalu larut dalam kekecewaan, lebih baik saya fokus pada pencapaian saya dalam berbisnis secara ilegal.
Mengantarkan heroin ke para pembeli membuat saya jadi dekat dengan beberapa orang. Orang-orang tersebut merupakan sosok dari kalangan berkecukupan. Mungkin lebih dari cukup, mereka tidak ragu untuk keluarkan uang jutaan untuk bisa nikmati barang yang saya jualkan ke mereka.
Setelah sekian lama menjadi pengedar yang loyalitasnya tinggi, tidak hanya kepada bandar utama namun juga kepada pembeli golongan A, akhirnya saya dibanjiri tawaran berbisnis.
Di situlah saya mulai bermain licik. Pembeli utama menawarkan saya kerjasama di mana saya diajak untuk menjual kembali heroin yang sudah diturunkan bandar ke tangan saya.
Ibaratnya saya dan pembeli utama bekerja sama 'bermain' di belakang bandar. Barang yang diturunkan ke tangan saya oleh bandar untuk diberikan kepada pembeli utama dijual kembali kepada pengguna lain.
Kami mencari pembeli yang berpotensi, memiliki uang banyak, mau mengeluarkannya dan buta akan jumlah takaran heroin yang dijual padanya.
Ini dinilai penting karena saat pembeli kedua tak tahu menahu soal takaran, akan lebih mudah untuk saya dan rekan bisnis mengelabui harganya.
Dengan begitu kami meraup lebih banyak keuntungan dan membagi hasilnya sama rata. Jumlah persenan yang dikembalikan ke bandar sesuai dengan perjanjian awal namun kali ini saya lebih banyak dapat profit tanpa dirinya menyadari bahwa saya memainkannya dari belakang.
Enam bulan telah berlalu, saya terus menerus merasakan kesuksesan, mendapatkan keuntungan dan perlahan-lahan mencicipi kekayaan. Rekan bisnis juga silih berganti lantaran saya ingin terus berkembang dan tidak pernah percaya siapa pun secara permanen.
Suatu hari saya didatangi sekelompok orang yang ternyata merupakan polisi. Saya dibawa ke kantor polisi dan ancaman soal penahanan terus dilontarkan oleh salah satu petugas.
Tanpa basa-basi panjang, saya langsung membayar mereka dan memberikan mereka informasi soal orang-orang yang pada saat itu saya rasa lebih pantas untuk dibui.
Kasarnya saya menukar kepala demi keselamatan saya. Dari 10 orang yang saya sebut, salah satunya adalah sang bandar. Kunjungan saya ke kantor pun berlangsung singkat. Saya dibebaskan dan ke-10 orang tersebut langsung diciduk dalam sebuah operasi gabungan polisi.
Tidak ada rasa malu atau pun menyesal pada saat itu. Saya justru senang dengan lengsernya sang bandar dari posisi teratas, saya akhirnya bisa menjadi seorang raja di dunia itu.
Advertisement
Merasakan darah rakyat jelata
Hari silih berganti, pembeli datang dan pergi, uang kian mengalir, polisi di sana-di sini dibeli, saya mungkin adalah orang yang paling beruntung pada saat itu.
Hukum tidak pernah berhasil membuat saya takut lantaran saya tahu bisa membelinya. Keluarga tidak pernah berhasil membuat saya luluh lantaran saya tidak pernah merasakan cinta dari mereka sepenuhnya.
Kerugian bisnis pun tidak juga berhasil membuat saya goyah lantaran saya tahu jalurnya. Sudah banyak kegagalan di satu jalan hanyalah pertanda untuk membuka jalur yang lain.
Lalu apa yang bisa membuat saya berhenti sepenuhnya dari dunia heroin? Tentu setiap orang memiliki satu titik kelemahan.
Bagi saya, kematian adalah hal yang paling tidak menyenangkan untuk diketahui, didengar, disaksikan dan mungkin dirasakan.
Meski sudah cukup sering diberi kabar soal seseorang yang tewas karena overdosis, namun bertambahnya jumlah berita soal kasus kematian membuat saya frustrasi.
Semakin banyak pembeli saya yang tewas karena overdosis. Dalam kurun waktu seminggu, saya mendapatkan telepon yang mana mengkonfirmasi kematian tiga orang akibat overdosis barang saya.
Jumlah terus meningkat dan semakin parah. Setiap malam saya dihantui pikiran-pikiran negatif, seolah setiap pengguna yang baru saja meninggal sedang melampiaskan amarahnya kepada saya.
Seringkali isak tangis dan teriakan orang-orang yang sudah tiada itu terdengar pada malam hari hingga saya kesulitan tidur.
Beberapa dari mereka pun hadir dalam mimpi saya, menghakimi saya dan mengancam nyawa saya.
Meski hanya mimpi dan sebatas pikiran, tidak bisa dipungkiri bahwa hal tersebut telah membuat saya depresi.
Semua memuncak ketika seseorang yang cukup dekat dengan saya dalam bisnis gelap tersebut overdosis di depan mata saya. Itu merupakan sebuah pengalaman yang tidak akan pernah luput dari ingatan.
Saya seolah bisa merasakan sakitnya sebelum ia akhirnya menghembuskan nafas terakhir. Wajahnya selalu terbayang-bayang sebagaimana yang lain telah menghantui setiap malam.
Saya pun akhirnya menyesal atas perbuatan saya. Meski mereka memilih jalan untuk menggunakannya terlepas dari saya biarkan atau tidak, tetap saja sayalah yang memberikan akses untuk dapatkan barangnya.
Saya lama-lama sadar telah merengut nyawa anak dari seseorang bapak, ibu, kakak, adik, saudara, sepupu, sahabat, teman, rekan bisnis, semuanya yang mana sosoknya sangat berarti untuk keluarga masing-masing.
Di saat saya hancurkan keluarganya, saya justru tertawa dan bersenang-senang menghamburkan uang mereka. Uang yang mungkin adalah tabungan mereka untuk sekolahkan anak, biayai rumah sakit orangtua, mendanai keperluan istri dan masa depan mereka semua.
Mungkin tidak secara langsung namun saya tetap bertanggung jawab atas kematian ratusan orang yang telah saya bohongi dan permainkan selama beberapa tahun.
Saya tidak jauh berbeda dengan para koruptor, pedofil, pembunuh dan kriminal lainnya. Justru saya lebih parah dari mereka lantaran memakan lebih banyak korban.
Saya kini masih beruntung tidak berada di balik jeruji setelah apa yang saya lakukan. Kini saya hanya bisa melamun setiap hari mengingat siksaan yang dirasakan para korban. Mungkin kegilaan yang akan rengut nyawa saya sebagaimana saya telah merampas nyawa mereka.