Liputan6.com, New York - Pagi yang cerah pada tanggal 11 September 2001. Fotografer Lyle Owerko ingat ia tengah jetlag dan tak bisa tidur di apartemenya. Kala itu ia mendengar suara dentuman dari jauh. Itu adalah suara tabrakan American Airlines dengan Tower Utara World Trace Center.
"Suaranya seperti gorila melemparkan bus ke gedung. Tak ada kata lain yang bisa aku deskripsikan tentang suaranya," kata Owerko membandingkan suara ledakan dengan film King Kong di mana monster itu meneror New York City.
Advertisement
Tas kamera Owerko dan peralatan tempurnya masih tersimpan dan siap digunakan. Ia meletakkan di pintu apertemennya. Memudahkannya untuk segera membawanya dan keluar dari apartemen untuk menyelidikinya.
Di jalan keluar, keamanan apartemennya mengatakan ia melihat pesawat menabrak gedung. Owerko segera lari ke arah Broadway dan menyeberang jalan ke Chambers Street dan segera mengambil gambar dari sudut yang istimewa: dari bawah.
"Saat itu situasi masih normal," kenangnya.
"Aku ingat orang-orang sempat bergurau dan berkata, 'apinya mana, tuh?' saat aku tengah berlari mencoba mencari momen yang tepat," kata dia.
Saat itu, kebanyakan fotografer belum menggunakan kamera digital. Owerko menggunakan lensa 35mm dan film medium format.
"Saat itu, ada kecantikan tersendiri menggunakan kamera analog. Anda harus yakin dengan sudut dan kualitas fotomu," ujar Owerko. Baginya, saat menggunakan format itu, fotografer dituntut untuk bijaksana dan bahkan cenderung konservatif saat mengambil gambar.
Owerko segera membuat strategi untuk mengambil angle foto dan berhati-hati pindah dari satu jalan ke jalan lainnya untuk mendapatkan sudut yang baik.
"Ada jeda selama beberapa menit," ingatnya. "Alasan aku pergi ke jalan Vesey dan Church adalah bahwa itu menempatkan matahari di belakangku dan aku bisa menulis sebuah cerita dari dua menara - salah satu yang dikaburkan dan satunya menjadi fokus utama dan pada saat itu aku berpikir: 'Ini sudut paling baik. Pantas untuk jadi sampul.' Satu menara yang membara, sementara salah satunya berdiri kokoh dan tabah."
Saat itulah, orang-orang disekelilingnya mulai berteriak kaget. Saat itulah, yang disebut teror 9/11 mengubah Amerika Serikat serta dunia. Demikian, dikutip Liputan6.com dari Time, Minggu (11/9/2016).
"Seseorang berteriak ada orang yang terjun. Suasana berubah begitu cepat dan orang-orang mulai didera horor kengerian," ingat Owerko.
"Karena saat itu aku baru kembali dari Tanzania, aku masih menggunakan lensa 400mm. Segera aku ganti dengan lensa 35mm dan memulai mengambil gambar orang-orang itu menjelang detik-detik mereka kehilangan nyawa."
Namun, tanpa disadari, pesawat kedua mulai mendekati menara.
"Aku mendengar suara jet, dan ku pikir pesawat itu menghindar. Namun tidak, burung besi itu tak bergerak sama sekali menuju menara. Jelas targetnya adalah menabrakkan diri," tutur Owerko.
"Bagi orang yang baru kembali dari Afrika, insiden itu mengingatkanku akan gerakan pemangsa, seperti cheetah mengendap-ngendap menerkam lawan."
"Rasanya Absurd"
Dalam momen mengerikan itu, Owerko menembak dua frame dengan kamera format Fuji 645zi medium. "Aku menunggu sampai pesawat itu menabrak," katanya, "Dan ketika itu terjadi, aku tidak tahu, tapi aku pikir sesuatu akan terjadi. Dan ketika menabrak lagi, terdengar suara ledakan luar biasa, seperti di film-film."
Lalu, menurutnya, terjadi keheningan beberapa saat sebelum akhirnya bola api meledak dan reruntuhan berjatuhan.
"Saat itulah aku mengambil gambar dan yakin akan menjadi sampul depan."
Beberapa detik kemudian, ia mencoba mengambil angle lain.
"Dan saat itulah, puing-puing berjatuhkan menghujani kami. Aku menutupi kepalaku dengan tangan karena puting dari pesawat dan gedung mulai berjatuhan mengenai polisi, orang lewat dan aku," ujarnya.
"Ada suara teriakan dan orang berlarian."
Kini, 15 tahun kemudian, Owerko masih menyimpan ingatan itu.
"Rasanya tubuhku seperti meledak. Sangat absurd. Seperti berdiri di tengah-tengah film 3 Demensi Hollywood," kata Owerko.
Yakin bahwa ia cukup mengambil gambar, Owerko pergi ke lab foto terdekat.
"Saat gedung pertama runtuh. Aku melihat kepulan debu datang dari sisi ngarai dan aku mulai mengambil foto-foto orang berlarian di Broadway."
Saat lab foto itu memproses filmnya, Owerko ingat, pemiliknya berkata kepadanya: "Kamu baru saja memberikan sampul depan Majalah Time." Dan ia pun melakukannya.
Saat sore hari, foto-fotonya sudah berada di meja direktur foto Time saat itu, MaryAnne Golon.
Dua hari kemudian, Owerko pergi ke tukang jual majalah. "Saat pertama kali melihatnya, aku tak yakin itu fotoku. Sungguh sureal karena aku memiliki keterkaitan intim dengan foto itu. Dan saat kubuka majalah, benar, itu fotoku."
Sekarang, Owerko merasa foto itu bukan miliknya seorang.
"Ini adalah foto dunia. Dimiliki oleh sejarah."
Lyle Owerko, seorang jurnalis foto kini tinggal di San Fransisco. Foto-foto tentang 9/11 ia abadikan dalam buku The Day That No Bird Sang...
Advertisement