Pilot Tempur Cantik Ini Rela Mati untuk Batalkan Serangan 9/11

Tanpa memiliki persenjataan Penny dan Komandan Sasseville terbang ke udara untuk menghentikan United 93.

oleh Nurul Basmalah diperbarui 12 Sep 2016, 07:04 WIB
Pilot Tempur Cantik Ini Rela Mati untuk Batalkan Serangan 9/11 (Reuters)

Liputan6.com, Washington. D.C - Pagi 11 September 2001 itu menjadi salah satu hari yang paling berkabung bagi Amerika Serikat. 4 pesawat terbang komersial yang dibajak oleh anggota kelompok teror Al Qaeda, akan menabrakkan burung besi itu ke 3 tempat, World Trade Center, Pentagon, dan Washington D.C.

Menanggapi hal tersebut Wakil Presiden AS kala itu Dick Cheney memerintahkan angkatan udara untuk menjatuhkan keempat pesawat tersebut. Beberapa angkatan udara pun bersiap-siap menaiki jet tempur mereka untuk menghentikan serangan teroris tersebut.

Letnan Heather 'Lucky' Penny merupakan salah satu dari dua pilot tempur pertama yang diperintahkan untuk menggagalkan terjadinya malapetaka itu.

Namun, Penny tidak dibekali dengan misil, amunisi, atau apa pun yang bisa dijadikan senjata untuk menghentikan serangan tersebut, selain pesawat yang diterbangkannya.

Seperti dikutip dari Washington Post, Minggu (11/9/2016), rencana mendadak untuk menghadang keempat pesawat itu adalah dengan menabrakkan burung besi yang diterbangkan oleh para pilot tempur itu.

Berbekal tekad dan keberanian untuk menyelamatkan dan membela negaranya, Penny bersama dengan pilot komandannya melayang ke angkasa mengejar Boeing 757 itu.

"Kami tidak akan menembaki pesawat-pesawat itu. Kami akan menabrakkan diri. Aku akan menjadi pilot kamikaze -- penerbang yang siap untuk mati," kata Penny mengingat kejadian yang dialaminya 15 tahun yang lalu itu.

Selama bertahun-tahun perempuan yang menjadi pilot tempur perempuan pertama itu tidak pernah membagi pengalamannya tentang insiden 9/11.

Namun 10 tahun kemudian, dia memutuskan untuk menceritakan kisah pagi 'berdarah' itu. Mengisahkan bagaimana militer AS siap untuk berkorban dalam misi bunuh diri tersebut.

"Bagaimana pun caranya, kami harus menyelamatkan pesawat udara itu," kata Penny yang kini bekerja sebagai direktur program F-35 di Lockheed Martin.

Pada musim gugur 2001 itu, Penny menjadi pilot tempur F-16 putri pertama di 121 Fighter Squadron of the D.C Air National Guard.

Dia tumbuh besar dengan menyaksikan ayahnya yang juga merupakan pilot tempur AS yang menerbangkan jet ke Vietnam.

Penny muda mendapatkan izin terbangnya saat dia masih menjadi mahasiswi sastra di Purde. Awalnya perempuan itu berencana menjadi guru. Tapi saat itu program pilot putri pertama dibuka dan dia memutuskan untuk mengikuti jejak sang ayah.

"Aku langsung mendaftarkan diri. Aku ingin menjadi pilot tempur seperti ayahku," kata Penny.


Terbang atau Mati

Tanpa memiliki persenjataan Penny dan Komandan Sasseville terbang ke udara untuk menghentikan United 93.

Pada Selasa pagi 11 September 15 tahun yang lalu itu dia baru saja menyelesaikan pelatihan terbangnya di Nevada. Mereka duduk di dalam ruangan rapat, ketika seseorang mengatakan WTC telah diserang.

Awalnya mereka mengira serangan tersebut tidak berdampak besar. Tapi setelah gedung kedua Twin Tower itu diserang, mereka menyadari itu adalah peperangan.

Semuanya terkejut. mereka tidak memiliki persiapan apapun. Tidak ada misil ataupun amunisi. Yang tersisa hanyalah pesawat yang mereka gunakan untuk berlatih tempur.

"Tidak ada senjata yang bisa digunakan kala itu, terutama dari tempat terpencil itu. Sebenarnya sedikit putus asa, tapi kami melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk menghentikan pesawat tersebut. Sangat menakjubkan bagaimana mereka bereaksi kala itu," kata Kolonel George Degnon, wakil komandan 113th Wing di Andrews.

"Keadaannya berbeda kala itu. Yang kami miliki hanyalah dua jet siap tempur saat itu. Pilot mereka berada lebih dari beberapa yar dari kokpit," ujar Degnon.

Pesawat teroris yang ketiga menghantam Pentagon dan yang keempat sedang menuju Washington D.C. Jet harus segera dipersiapkan, seseorang harus terbang dengan ataupun tanpa senjata.

"Lucky (Penny) kau ikut terbang bersamaku," kata Kolonel Marc Sasseville.

Penny lalu mengikuti komandannya ke anggar jet. Setelah mendapatkan instruksi dari Sasseville, mereka lalu terbang ke arah United 93 yang sedang menuju Washington D.C.

"Kita tidak dilatih untuk menjatuhkan pesawat terbang. Jika kau tabrak mesinnya, pesawat itu akan goyah dan kau bisa mengarahkannya ke target. Perkiraanku kokpit atau sayap," kata Sasseville yang kini bertugas di Pentagon.

Sasseville berpikir apakah mereka akan sempat melontarkan kursi mereka. Penny juga memikirkan hal yang sama. Apakah sempat?

"Aku berharap bisa melakukan kedua hal sekaligus. Mungkin tidak akan berhasil tapi aku masih berharap," ujar Sasseville.

Kala itu Penny khawatir jika dia takut, targetnya akan meleset. "Jika kau melontarkan kursi tapi jet meluncur tanpa dampak apa pun . . ." pikirnya. Kala itu dia lebih takut gagal dibandingkan mati.

Untungnya, Penny dan Sasseville tidak harus mati saat itu. Para penumpang United 93 menyelamatkan diri mereka sendiri.

Berkat usaha para penumpang dan awak kabin, pesawat itu akhirnya jatuh di sebuah lapangan terbuka di Pennsylvania.

"Pahlawan sesungguhnya adalah orang-orang yang berada di dalam pesawat itu. Mereka sangat berani, bahkan untuk mengorbankan diri mereka. Aku hanyalah saksi beruntung yang dapat melihat sejarah ini," kata Penny.

Penny dan Sasseville akhirnya memiliki misi baru kala itu. Memeriksa keamanan di udara dan mengawal presiden.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya