Denda Menangkap Paus dan Buaya Rp 100 juta

Kearifan lokal untuk menjaga lingkungan laut.

oleh Ola Keda diperbarui 13 Sep 2016, 20:01 WIB
Seorang bocah bermain lompat dari atas batu di kawasan Pantai Besar, Larantuka, Flores Timur, NTT. (Antara)

Liputan6.com, Kupang - Forum Komunikasi Tokoh Adat Peduli Budaya (FKTAPB) Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur menginisiasi penerapan Papadak/Hoholok untuk pengelolaan sumber daya alam di pesisir dan laut secara berkelanjutan.

Pengelolaan berbasis Papadak/Hoholok merupakan warisan leluhur masyarakat adat di wilayah bekas Kerajaan Rote Ndao (Nusak). Secara harfiah, Papadak atau Hoholok merupakan dua kata yang pengertiannya sama.

Papadak atau Hoholok adalah konsep hukum adat untuk pengelolaan sumber daya alam di wilayah pertanian sawah, mamar (tanaman produksi jangka panjang, antara lain kelapa, pinang, rambutan, nangka, pisang, kenari, dan lontar), dan wilayah mata air untuk pengairan sawah dan air minum masyarakat.

"Pembentukan Papadak/Hoholok ini bertujuan agar tidak boleh lagi masyarakat atau nelayan di Pulau ini melakukan hal-hal yang merusak lingkungan laut yang berujung pada perusakan ekosistem laut," kata Ketua FKTAPB Yohanes Ndolu, Senin 11 September 2016, dilansir Antara.

Penggunaan kata Papadak diterapkan oleh masyarakat adat dari Rote Tengah mulai Kecamatan Rote Tengah ke wilayah timur (Pantai Baru, Rote Timur, dan Landuleko). Adapun penamaan Hoholok diberikan oleh masyarakat Kecamatan Lobalain ke wilayah barat (Rote Selatan, Rote Barat Laut, Rote Barat, dan Rote Barat Daya).

Penerapan Papadak/Hoholok bertujuan mencegah timbulnya konflik di kalangan petani dan peternak, rusaknya sumber air mengatasi pencurian hasil perkebunan dan persawahan, membangun etika dan nilai-nilai kebersamaan.

Selain itu, membedakan mana yang boleh atau tidak boleh, serta mengelola hasil pertanian sehingga terjalin hubungan harmonis antara sesama pengguna sumber daya alam. Pemberlakuan Papadak/Hoholok juga mendukung pengembangan Taman Nasional Perairan Laut Sawu di Kabupaten Rote Ndao.

Untuk tahap awal, hukum adat tersebut diterapkan di tiga Nusak (wilayah kerajaan) dengan program mulai dari sosialisasi, penyusunan dan konsultasi aturan Papadak/Hoholok, penetapan lokasi untuk Papadak/Hoholok, pembentukan Manoholo (pengawas wilayah Papadak/Hoholok), serta ritual adat pemberlakuannya.

Ada sembilan aturan adat Papadak/Hoholok yang telah disepakati antara para tokoh adat, pemerintah daerah, pemangku kepentingan, dan masyarakat pesisir di tiga Nusak, di antaranya pelarangan penambangan pasir pantai tanpa izin, penebangan mangrove, dan pepohonan lainnya di pesisir pantai lokasi Papadak.

Selain itu, penangkapan penyu dan telur penyu, pengambilan, perusakan lamun, teripang, karang, batu laut, akar bahar di perairan sekitar area papadak, penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, penangkapan, pembunuhan hewan laut dan ikan laut yang dilindungi oleh negara, seperti paus, buaya, lumba-lumba dan duyung, serta pembuangan sampah di pesisir dan laut.


Denda hingga Rp 100 Juta

Dendanya juga bervariasi mulai dari denda Rp 100 juta bagi para penangkap paus dan buaya, memotong atau memangkas dahan pohon mangrove atau bakau dan jika aturan itu dilanggar, maka akan dikenai denda Rp10 juta.

Sejumlah larangan lainnya, yakni menangkap dan membunuh kera di hutan mangrove didenda Rp 10 juta, mengambil madu di hutan mangrove dengan cara pengasapan didenda Rp 10 juta.

"Kami juga menerapkan larangan dan denda bagi mereka yang menangkap lobster atau teripang menggunakan racun akan didenda Rp 10 juta," kata Yohanes Ndulu.

Selain itu, berlalu lintas di area rumput laut didenda Rp 250.000, membuang sampah ke laut Rp 250.000, menangkap dan membunuh penyu didenda Rp 5 juta, menangkap ikan menggunakan bahan peledak didenda Rp 10 juta, menggunakan pukat harimau didenda antara Rp 10 juta hingga Rp 100 juta.

Bagi mereka yang merusak terumbu karang didenda Rp 10 juta, mengambil pasir dengan alat berat dikenai denda mulai Rp10 juta sampai Rp 100 juta, menambang pasir tanpa izin didenda Rp 5 juta, mengambil batang pohon Senggigi didenda Rp 25 juta, mengambil telur penyu didenda Rp 5 juta, merusak terumbu karang dan akar bahar didenda Rp 25 juta.

"Saat ini ada kurang lebih 48 penjaga laut yang telah dikukuhkan oleh Bupati Rote, dan sudah mulai berjalan. Aturan dan denda yang diberikan semuanya berlaku bagi nelayan Rote serta nelayan-nelayan dari luar Rote yang mencari ikan di perairan ini," tutur Yohanes.

Bupati Rote Ndao Leonard Haning mengaku mendukung hal tersebut dan akan menggandeng Forum Komunikasi Tokoh Adat Peduli Budaya agar hal positif itu bisa diterapkan di semua wilayah pesisir kabupaten terselatan NKRI tersebut.

"Kita akan menggandeng forum ini agar nantinya bisa membantu pemda menjaga laut, serta ini juga dapat meringankan beban dari Pemda Rote sendiri dalam berpatroli," ujar Yohanes.

Rote yang berada dekat dengan Perairan Nasional Laut Sawu itu, memang selalu menjadi incaran dari nelayan-nelayan, baik lokal maupun luar negeri, untuk mencuri dan menangkap ikan dengan jumlah yang besar.

Cara penangkapannya juga tidak ramah lingkungan. Terkadang ditemui aksi penangkapan ikan di wilayah perairan itu menggunakan alat tangkap cantrang atau pukat harimau yang akan merusak ekosistem laut, tempat ikan dan hewan laut lainnya yang sedang berkembang.

Leonard mengatakan larangan yang telah ditetapkan dan dijaga oleh pengawas laut yang dikukuhkan secara adat itu berlaku bagi nelayan-nelayan manapun yang masuk perairan laut Sawu atau ke perairan Pulau Rote.


Aturan Adat Jadi Andalan

Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Andi Rudsandi mengatakan saat ini pihaknya sedang mengidentifikasi sejumlah kearifan lokal daerah lain di Indonesia yang masih berhubungan dengan masyarakat pesisir.

"Melihat antusias masyarakat di kabupaten ini saya sangat kagum karena membuktikan semua pihak bisa terlibat menjaga laut. Oleh karena kita hingga kini masih mengidentifikasi daerah di Indonesia yang masyarakatnya peduli dengan laut," kata Andi.

Ia mengaku pernah mendengar beberapa wilayah di Indonesia yang mempunyai visi dan misi yang sama seperti yang diterapkan oleh masyarakat adat di Rote Ndao.

Bahkan, kata dia, KKP mempunyai misi untuk membuat sebuah aturan yang mendorong masyarakat pesisir untuk wajib menjaga lautnya.

Namun, hal tersebut harus dipastikan lagi, karena bisa saja hanyalah sebuah seremonial biasa yang pada akhirnya akan hilang begitu saja ditelan waktu.

Andi menambahkan pemerintah baik pusat sampai daerah wajib mendukung apa yang telah dimulai oleh masyarakat adat tersebut karena memang sudah dimandatkan dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 dan UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Hak-Hak Adat yang harus dilindungi pemerintah.

"Aturan-aturan yang dilahirkan oleh masyarakat adat itu jauh lebih baik dan lebih efektif dibandingkan dengan aturan yang ditetapkan oleh nasional karena tidak semua daerah mempunyai karakteristik yang sama dengan aturan yang ditetapkan pemerintah," tutur Andi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya