Liputan6.com, Jakarta Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menyatakan kebijakan harga acuan pangan tidak akan merugikan petani. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 63 Tahun 2016 tentang Harga Acuan Pembelian Di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.
Enggar mengungkapkan, penetapan harga acuan di tingkat petani ini untuk memberikan kepastian agar hasil panen dibeli dengan harga yang menguntungkan. Pasalnya selama ini harga pangan di tingkat petani sering kali tidak membawa untung bagi petani yang bersangkutan.
Baca Juga
Advertisement
"Penurunan (harga) itu jangan berdampak pada petani. Karena kenaikan harga (yang selama ini terjadi) juga tidak memberikan dampak positif kepada petani. Yang itu harus dilihat betul. Kalau harga naik petani tetap miskin. Jadi jangan ada penyesatan untuk ini, saya bisa kejar," ujar dia usai membuka acara The 2nd ASEAN Marketing Summit 2016 di The Kasablanka, Jakarta, Kamis (15/9/2016).
Enggar mengungkapkan, selama ini yang banyak mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga pangan adalah pihak-pihak yang bermain di rantai pasok distribusi. Sedangkan petani dan konsumen yang paling rugi.
"Mata rantai yang harus dijaga. Maka kenapa saya keluarkan harga acuan, bekerja sama dengan Mentan (Menteri Pertanian). Ini bersama Pak Mentan untuk melihat berapa petani dan peternak ini untung, tapi tidak berlebihan. Ini mata rantai berlebihan yang kita potong. Pengusaha harus untung tapi jangan berlebihan," tutur dia.
Dalam Permendag ini, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengatur harga acuan untuk tujuh bahan pangan pokok seperti daging, beras, bawang merah, gula, kedelai, jagung, dan cabai. Masing-masing bahan pangan ini memiliki harga acuan tersendiri baik di tingkat petani maupun konsumen.
"Harga batas minum ini banyak, ada beberapa item, seperti yang beras Rp 7.300 per kg (di tingkat petani), gabah kering Rp 3.700. Itu kemudian ada HPP (harga pembelian pemerintah) dan HET-nya (harga eceran tertinggi). Kemudian jagung juga sudah ada. Ini kalau beras dia sampai Rp 9.550 misalnya karena harga tertingginya Rp 9.500 (di tingkat konsumen), kita langsung intervensi. Tapi ini bagaimana suplai dan demand. Kita ada rasio stok. Kalau petani hasil pertanian dan peternakan diserap, ini Bulog sebagai standby buyer," tandas dia. (Dny/Nrm)