Liputan6.com, Melbourne - - Monster Frankenstein lahir dari gagasan yang tercetus pada malam gelap yang hanya diterangi cahaya lilin temaram, kala hangat musim panas yang diharapkan tak menyapa Eropa.
Dan, pada tahun 2016 ini menandai 200 tahun kemunculan makhluk yang disebut paling menyeramkan dalam sastra Inggris. Sejak kelahirannya pada 1816, Frankenstein menjadi sebuah legenda.
Tak hanya isi ceritanya yang menarik -- tentang ilmuwan gila bernama Victor Frankenstein yang menciptakan monster dari bagian mayat orang mati dan membangkitkannya dengan kekuatan yang meniru petir: listrik -- tapi juga proses penciptaannya yang berlatar amuk alam yang luar biasa.
Letusan gunung berapi di Indonesia ternyata membuka jalan bagi terciptanya kisah yang ditulis pengarang Mary Shelley itu.
Baca Juga
Advertisement
Dikutip dari The Conversation pada Kamis (15/9/2016), pada Juni 1816, lima orang muda dari Inggris berkumpul di sebuah vila yang menghadap Danau Jenewa, Swiss. Masing-masing mengarang cerita horor untuk menakut-nakuti yang lain. Mary Shelley yang masih berusia 18 tahun ada di antara mereka.
Suasana Eropa pada saat itu sungguh tak biasa. Musim panas yang biasanya hangat bermandikan cahaya mentari, suram dan muram.
Kondisi itu ada kaitannya dengan letusan dahsyat Gunung Tambora pada 10 April hingga 12 April 1815.
Saat meledak, gunung tersebut menyemburkan sekitar 150 kilometer kubik debu vulkanik ke angkasa -- menjadi salah satu erupsi terdahsyat dalam sejarah.
Tak hanya menewaskan ribuan manusia, setahun sesudah kejadian, debu letusan gunung itu mengawang-awang di atmosfer bumi, menghalangi pancaran sinar matahari.
Amerika Utara dan Eropa mengalami "tahun tanpa musim panas" -- a year without summer yang mengakibatkan bencana kelaparan terburuk pada Abad ke-19.
Monster Sesungguhnya
Kelompok manusia yang berada di villa di tepi Danau Jenewa, Swiss itu bukan orang biasa. Mereka adalah para pujangga, Lord Byron dan Percy Shelley, Mary Shelley yang kala itu masih bernama Mary Godwin, Kemudian ada dokter pribadi Byron bernama John Polidori dan Claire, saudara tiri Mary.
Claire sendiri sedang mengandung anak Byron. Mary berpacaran dengan Percy yang sudah menikah -- sejoli itu akhirnya bisa hidup bersama setelah istri pertama Percy bunuh diri.
Mary bukan remaja biasa. Ia adalah keturunan dari dua tokoh ternama saat itu. Ayahnya bernama William Godwin yang adalah seorang penulis dan ahli filsafat. Pria itu dikenal mendukung paham utilitarianisme dan anarkisme.
Ibunya, Mary Wollstonecraft, menulis karya feminisme "A Vindication of the Rights of Women." Karya tersebut diduga sebagai tulisan feminisme berbahasa Inggris yang paling bernilai. Sayangnya, Wollstonecraft meninggal dunia sesaat setelah melahirkan Mary.
Letusan gunung Tambora menyebabkan musim panas yang dingin, gelap, dan lembab. Sungguh tidak menyenangkan bagi kegiatan luar ruang. Jadi kelompok pelancong itu tinggal di dalam penginapan sambil membaca koleksi kisah-kisah hantu Jerman.
Ketika selesai membaca kumpulan buku itu, mereka kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa lagi -- mati gaya. Karenanya, Byron menantang kelompok itu untuk mengarang sendiri kisah hantu untuk diceritakan dalam kelompok.
Menjawab tantangan tersebut, Polidori kemudian menghasilkan kisah vampir terbitan pertama sedunia, sehingga memulai suatu genre cerita yang belakangan mencakup kisah Drakula.
Mary malah kehabisan bahan. Akhirnya ada suatu gagasan muncul dalam perenungannya, dan sangat mungkin terinspirasi dari perbincangan tentang temuan ilmuwan Italia.
Ilmuwan bernama Luigi Galvani tersebut mengungkapkan bahwa arus listrik dapat menyebabkan otot-otot kaki kodok mati bisa berkedut.
Mary mengkisahkannya demikian, "Mahasiswa pucat yang jahat itu berlutut di samping benda yang baru saja disatukannya. Aku melihat hantu seorang pria meregang, dan kemudian, berbarengan dengan gemuruh suatu mesin yang digdaya, muncul lah tanda-tanda kehidupan, dan gerakan oleng setengah hidup."
Maka lahirlah Frankenstein, yang pada awalnya hanya dimaksudkan menjadi cerita pendek. Setelah Mary meneruskan mengerjakannya selama beberapa bulan kemudian, kisah itu menjelma menjadi suatu karya yang kerap dipandang sebagai novel fiksi ilmiah pertama.
Buku itu diterbitkan 2 tahun setelah musim panas yang muram tahun 1816 dengan judul "Frankenstein: or, the Modern Prometheus".
Promotheus adalah raksasa dalam mitos Yunani yang dikisahkan mencuri api dari para dewa dan memberikannya kepada manusia sehingga ia dirantai ke suatu batu karang dan seekor elang menggerogoti hatinya setiap hari.
Hampir semua orang menduga bahwa monster dalam kisah itu adalah "Frankenstein" itu sendiri. Salah.
Pertama, mahluk setinggi 2,4 meter itu dihidupkan oleh Victor Frankenstein. Mahluk yang merupakan gabungan bagian-bagian mayat itu tidak memiliki nama.
Frankenstein -- si pencipta --hanya memanggilnya monster, mahluk, setan atau sekedar "sesuatu".
Lebih daripada itu, monster sesungguhnya adalah sang pencipta mahluk itu sendiri. Ya, dialah Victor Frankenstein. Dia menciptakan spesies baru mahluk hidup bukan agar menjadi manfaat bagi dunia, tapi untuk kemuliaan dirinya sendiri.
Ia bergaya seperti dermawan, tapi sebenarnya sungguh sangat egois. Ia bekerja demikian kerasnya bahkan sampai mengabaikan apapun, tapi ketika ciptaannya mulai menggeliat, ia sendiri tidak tahan melihatnya.
Katanya, "Setelah sekarang aku menyelesaikannya, keindahan impian itu pupuslah sudah, dan horor serta kejijikkan mengisi relung hatiku. Tak sanggup bertahan melihat mahluk yang telah kuciptakan, aku melarikan diri ke luar ruangan…"
Mahluk yang cerdas dan perasa itu ditinggalkan sendirian. Ia mengharapkan kedekatan, tapi penampilannya menjerumuskannya pada dua pilihan: melawan atau kabur. Ia menginginkan hubungan dengan penciptanya, tapi Victor malah tidak mau berurusan dengannya.
Karena ditolak dan dihina oleh setiap orang yang ditemuinya, mahluk itu akhirnya mengamuk lalu membunuh saudara lelaki Victor, sahabatnya, dan istri sahabatnya. Mahluk itu berkeluh kesah kepada Victor, "Aku seharusnya menjadi Adam bagimu, tapi aku malah seperti malaikat yang terjerumus bagi mereka."
Advertisement
Mahakarya Berlatar Bencana
Frankenstein lebih dari sekedar kisah monster, melainkan juga kisah kecongkakan yang haus kasih sayang, kebanggaan berlebihan dari seorang ilmuwan yang tergila-gila pada kekuasaan yang dicarinya agar membuat dirinya menjadi dewa.
Sebagaimana halnya dengan Mary Shelley yang bertumbuh kembang tanpa ibu dan menyalahkan dirinya untuk kematian ibunya, mahluk itu tidak memiliki ibu dan tidak ada yang mencintainya.
Penderitaan menjadikannya bengis dan ketika kerinduannya menjurus kepada kebencian, ia mengamuk melawan penciptanya.
Kisah itu juga mengajarkan, memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal selayaknya dewa tidak serta merta membuat seseorang menjadi dewa, apalagi jika tanpa cinta.
Ada jauh lebih banyak lagi dalam kisah Frankenstein. Misalnya, ada kisah tentang Elizabeth, seorang yatim piatu yang diasuh di rumah tokoh ilmuwan dan kemudian diperistri oleh Victor.
Lalu ada kisah tentang pendidikan Victor, yang bermula dari pembelajaran ilmu alam menuju kepada dorongan tak tertahankan untuk menciptakan manusia baru yang lebih baik.
Demikian juga dengan struktur penulisan novel itu sendiri, yang merujuk kepada Robert Walton, seorang penulis gagal yang mencoba terkenal melalui penjelajahan Kutub Utara hingga bertemu dengan Victor yang sedang sekarat di kutub karena sedang mengejar sang monster.
Seandainya tidak tercatat secara cermat, kisah penciptaan "Frankenstein" sulit ditelaah. Coba bayangkan, suatu bencana di belahan bumi menjadi wahana berkumpulnya sastrawan kelas kakap, yang kemudian menelurkan karya langgeng oleh seorang remaja 18 tahun tentang kesombongan manusia.
Mahakarya Mary Shelley terhitung di antara salah satu karya tak terlupakan sastra dunia, tapi kisah di dalamnya tidak bisa menyaingi cerita seru di latar belakang penciptaannya.
Awalnya, di villa yang disewa Byron, mereka mendengarkan antologi cerita hantu Jerman, hanya diterangi cahaya lilin temaram. Setelahnya, sang tuan rumah mendorong mereka untuk menciptakan cerita-cerita seram.
Suatu malam, perempuan mengalami 'waking dream' atau mimpi dalam kondisi sadar. Perempuan itu kemudian menceritakannya di depan para audiens, salah satunya penyair Inggris, Lord Byron dan Percy Shelley (23) -- yang meninggalkan istri pertama dan anak-anaknya demi bersama Mary.