Liputan6.com, Jakarta Sengketa wilayah Laut China Selatan belum menemukan titik terang. Meski tak terlibat dalam aksi saling klaim, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto menegaskan, Indonesia tetap punya sikap.
Sikap Indonesia, dia menambahkan, adalah laut penuh sumber daya alam ini harus stabil perdamaiannya. Hal itu tak bisa diganggu gugat.
"Bagi Indonesia perdamaian dan stabilitas Laut China Selatan adalah harga mati," ucap Wiranto dalam acara bertajuk Conference on Indonesian Foreign Policy 2016 : Finding Indonesia's Place In The Brave New World yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Sabtu (17/9/2016).
Wiranto menyatakan, perdamaian sangat dibutuhkan agar konflik ini tak meluas. Sebab, jika ketegangan terus terjadi maka negara yang bukan pengklaim dapat terkena imbas.
Walau begitu, mantan Pangilma ABRI ini mengakui bahwa menyelesaikan masalah di Laut China Selatan tak semudah membalik telapak tangan.
"Sengketa Laut China Selatan sangat pelik belum terlihat secara jelas solusinya," tutur dia.
Wiranto menambahkan, meski pelik masalah Laut China Selatan bukan berarti menemui jalan buntu. Indonesia mendukung setiap cara untuk mengelola permasalahan yang ada.
Tak hanya antar negara pengklaim, konflik Laut China Selatan juga secara langsung melibatkan kekuatan dunia. Sejumlah orang menyebut, sengketa itu bisa jadi pemicu Perang Dunia III.
Namun, hal itu dibantah Associate Profesor dan Associate Dean dari S. Rajaratnam School of International Studies Nanyang Technological University, Dr Ralf Emmers.
Ada tiga hal yang mendasari pernyataannya. "Pertama, kekuatan besar memainkan peran dalam Laut China Selatan. China dan Amerika Serikat memiliki banyak saluran komunikasi bilateral yang bisa saja membuat situasi menjadi meningkat. Mereka secara strategis memberi sinyal satu dengan lain. Namun, saya rasa mereka tak akan meningkatkan situasi di luar kendali," jelas Emmers beberapa waktu lalu.
"Kedua, stabilitas strategis yang Anda lihat di Laut China Selatan berasal dari asimetri kekuasaan yang menyediakan ruang strategis untuk bermanuver," imbuhnya.
"Terakhir, setidaknya masih ada beberapa dialog yang terjadi dan dapat dilihat bahwa saling ketergantungan ekonomi makin meningkat," tuturnya.
Advertisement