Ahli dari Jessica Kritisi Psikolog Kubu Jaksa Penuntut

Ada beberapa tahapan observasi yang dilakukan psikolog guna menghindari subjektifitas hasil dari observasi tersebut.

oleh Nafiysul Qodar diperbarui 19 Sep 2016, 11:44 WIB
Kuasa hukum Jessica Wongso memberikan pertanyaan untuk saksi ahli toksikologi dari UI Budiawan pada sidang lanjutan di PN Jakarta Pusat, Rabu (14/9). Sidang ke-20 itu mendengarkan keterangan saksi dari kubu terdakwa Jessica. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Kubu terdakwa Jessica Kumala Wongso menghadirkan ahli psikologi dari ‎Universitas Indonesia (UI) Dewi Taviana Walida pada persidangan ke-22 kasus pembunuhan terhadap Wayan Mirna Salihin.

Dalam persidangan, Dewi mengkritisi ahli psikologi yang dihadirkan kubu jaksa penuntut umum (JPU), yakni Antonia Ratih Anjayani. Selain dihadirkan di dalam persidangan, Ratih juga yang melakukan pemeriksaan psikologi terhadap Jessica di kantor polisi.

Dewi mengatakan, assessment tidak bisa dilakukan hanya dengan observasi atau pengamatan umum. Ada tiga metode yang perlu dilakukan, yakni observasi, wawancara‎, dengan kombinasi tes, dan multi rater yakni observasi dengan berbagai alat untuk menghindari subjektifitas.

"Sehingga apabila yang dilakukan hanya observasi itu tidak cukup," ujar Dewi dalam persidangan di PN Jakarta Pusat, Senin (19/9/2016).

Dalam kasus Jessica, kata Dewi, psikolog tidak ‎bisa menarik kesimpulan pemeriksaan hanya berdasar pada rekaman CCTV di Kafe Olivier. Sebab, rekaman CCTV itu hanya satu informasi, dan masih diperlukan cara-cara lain.

"Pemeriksaan CCTV itu tidak mengkonfirmasi. Kalau wawancara kan kita harus menanyakan kembali yang kita lihat, karena bagaimana pun kita harus menghormati subjek yang diperiksa," tutur dia.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya