Pengembang NTB Keluhkan Perubahan Skim Pembiayaan Rumah Subsidi

Sejumlah rumah yang sudah siap akad kredit tertunda karena bank menunggu terbitnya aturan mengenai subsidi selisih bunga.

oleh Muhammad Rinaldi diperbarui 19 Sep 2016, 15:26 WIB
(Foto: Rumah.com)

Liputan6.com, Jakarta - Pengembang di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mengeluhkan berubah-ubahnya skim pembiayaan rumah subsidi yang dilakukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Akibatnya, sejumlah rumah yang sudah siap akad kredit tertunda karena bank menunggu terbitnya aturan mengenai subsidi selisih bunga (SSB).

Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) NTB Miftahudin Maruf mengungkapkan, perubahan skim pembiayaan rumah subsidi dari Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang dilaporkan anggarannya sudah habis ke SSB turut memengaruhi realisasi target pembangunan rumah sederhana sehat (RSh) di provinsi tersebut. Dari target tahun ini sebanyak 2.500 – 3.000 unit, hingga Agustus 2016 baru terealisasi sekitar 50%. Padahal pasokan dari anggota cukup stabil, namun belum bisa akad kredit.

“Skim pembiayaan yang berubah-ubah bikin susah, karena perbankan butuh ada aturan yang jelas dulu. Saat ini di seluruh NTB ada sekitar 750 unit rumah subsidi yang tertunda akad kreditnya menunggu kejelasan skim subsidi selisih bunga sebagai pengganti FLPP,” ujar Maruf kepada Liputan6.com, Senin (19/9/2016).

Selain Bank Tabungan Negara (BTN), realisasi KPR subsidi di daerah tersebut juga di-backup Bank NTB. Menurut Maruf, meski realisasi rumah subsidi di NTB masih di bawah target, namun dia berharap target masih bisa dicapai hingga akhir tahun ini, asalkan aturan mengenai SSB ada kejelasan. Saat ini beberapa pengembang aktif membangun rumah subsidi di Lombok Barat, Lombok Utara dan Sumbawa.

Hadapi Kendala

Menurut Maruf, pengembang di NTB masih memiliki komitmen tinggi untuk memasok rumah sederhana bersubsidi, namun diakui masih banyak kendala di lapangan selain hambatan pembiayaan. Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian pemerintah yakni kepastian pasokan listrik dan air bersih ke lokasi perumahan.

“Jaringan listrik di NTB agak susah, karena untuk rumah subsidi kan pembembang tidak bisa hibah instalasi. Jadi kami harus menunggu lama. REI NTB sudah mencoba bermusyawarah dengan PLN dan mereka minta data berapa jumlah rumah yang dibangun supaya bisa diajukan anggarannya,” ujar dia.

Sedangkan untuk jaringan pipa PDAM, saat ini polanya pengembang harus membiayai sendiri pemasangan jaringan pipa melalui anggaran yang dibuat perusahaan air minum setempat. Di Sumbawa misalnya, investasi yang ditanggung pengembang mencapai Rp 750 juta untuk 500 rumah. Ma’ruf berharap kepada pemerintah agar memberikan support penuh untuk penyediaan listrik dan air rumah untuk perumahan subsidi.

Terkait modal kerja untuk pengembang rumah subsidi, REI NTB berharap Bank BTN dapat menekan bunga kredit konstruksi khusus bagi pengembang rumah rakyat. Kalau sekarang berkisar 13,5 persen, idealnya diharapkan hanya 8 persen-10 persen.

“Kami minta bisa ada bunga khusus untuk pengembang rumah FLPP. Kalau sekarang masih tinggi, sehingga memberatkan. Ilustrasi kalau pinjam Rp 1 miliar, maka setiap bulan berarti kehilangan satu rumah untuk bayar bunganya,” keluh Maruf.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya