Liputan6.com, Jakarta - Proses persidangan kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat selalu menarik perhatian. Sidang perkara yang akrab dengan sebutan kasus 'kopi sianida' ini bahkan sudah berlangsung hingga 22 kali.
Persidangan selalu menyajikan fakta-fakta menarik di setiap episodenya yang membuat publik makin penasaran. Apalagi ketika persidangan disuguhkan dengan 'drama' perdebatan sengit antara kubu jaksa penuntut umum (JPU) dan pihak terdakwa Jessica.
Advertisement
Pihak JPU masih pada keyakinan awal, bahwa Jessica adalah pelaku tunggal yang menghabisi nyawa Mirna menggunakan racun sianida. Hal itu berdasarkan sejumlah bukti sekaligus diperkuat dengan keterangan saksi-saksi fakta dan ahli yang telah dihadirkan di persidangan.
Begitu juga kubu Jessica. Meski telah ditetapkan sebagai terdakwa, tim pengacara yakin bahwa Jessica tidak bersalah. Apalagi bukti-bukti dan keterangan saksi yang dihadirkan JPU dianggap lemah untuk menetapkan Jessica sebagai pembunuh Mirna. Beberapa bukti dan keterangan ahli yang dihadirkan kubu Jessica pun membantah semua 'amunisi' yang dimiliki JPU.
Sejumlah pertanyaan pun selalu membayangi jalannya persidangan. Antara lain, benarkah Mirna tewas akibat racun sianida? Lalu siapa pembunuhnya? Bagaimana caranya? Dan ratusan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Yang pasti, semua akan terang ketika majelis hakim mengetuk palu putusan perkara, hingga kasus dinyatakan inkracht atau berkekuatan hukum tetap.
Berikut tiga fakta menarik pada persidangan ke-22 kasus 'kopi sianida' Jessica Wongso yang berlangsung pada Senin 19 September 2016:
1. Jessica Taruh Tas di Meja Wajar
Kubu Jessica menghadirkan tiga saksi ahli pada persidangan ke-22 ini. Saksi yang pertama diturunkan yakni ahli psikologi dari Universitas Indonesia (UI) Dewi Taviana Walida Haroen.
Analisis awal yang dilakukan Dewi adalah mengenai perilaku Jessica yang meletakkan tas kertas atau paper bag di atas meja saat berada di Kafe Olivier, Grand Indonesia, 6 Januari 2016 lalu. Bagi beberapa ahli yang dihadirkan JPU, perilaku tersebut tidak lazim. Jessica dinilai berperilaku seperti menyembunyikan sesuatu atau membentengi diri.
Berbeda dengan Dewi yang justru menganggap perilaku Jessica itu wajar. Sebab kebiasaan seseorang tidak bisa disamaratakan dengan kebiasaan orang lain secara umum.
"Contohnya saya pribadi Pak, bapak lihat, tas saya letakkan di mana? Kenapa saya letakkan di sini kira-kira?" tanya Dewi sambil menunjukkan tasnya yang ditaruh di atas meja dalam persidangan, di PN Jakarta Pusat.
Dewi menjelaskan, beberapa orang memiliki kebiasaan meletakkan tas atau barangnya di atas meja, sekali pun ada tempat lain. Perilaku itu didasari sejumlah alasan, antara lain, agar bisa dilihat orang lain alias pamer, takut hilang atau diambil orang, dan sebagainya.
Karena itu, Dewi mengkritisi sejumlah ahli psikologi yang telah memeriksa Jessica, salah satunya Antonia Ratih Andjayani. Psikolog klinis berusia 34 tahun itu berdasar pada perilaku lazim orang yang bertamu di restoran, umumnya akan meletakkan barang bawaannya di samping tubuhnya jika masih ada ruang kosong. Kecuali ada hal yang ingin dikerjakan di atas meja.
Menurut Dewi, pemeriksaan yang dilakukan Ratih terhadap Jessica hanya berdasarkan pada observasi dan pengamatan umum. Padahal ada tiga metode yang perlu dilakukan dalam rangka assessment seseorang.
"Sehingga, apabila yang dilakukan itu hanya observasi itu tidak cukup," jelas dia.
Belum lagi, lokasi pemeriksaan psikologi terhadap tertuduh yang dianggap tidak netral. Dalam kasus ini, Jessica menjalani pemeriksaan kejiwaan di kantor polisi. Kondisi itu dipastikan berpengaruh pada kenyamanan Jessica selama diperiksa. Dan tentu akan berpengaruh pada hasil pemeriksaan.
"Hasilnya (pemeriksaan psikologi Jessica) bias. Tidak bisa dipertanggungjawabkan," tandas Dewi.
Advertisement
2. Perang Kredibilitas Ahli Psikologi
Dewi yang merupakan ahli psikologi dari kubu Jessica memang beberapa kali mengkritisi keterangan psikolog dari kubu JPU, Antonia Ratih Andjayani. Ahli psikologi klinis yang saat itu juga memeriksa kejiwaan Jessica dan dituangkan ke dalam berita acara pemeriksaan (BAP) penyidik Polda Metro Jaya dianggap inkonsisten.
Ratih dianggap tidak konsisten dalam membuat kesimpulan dari pemeriksaan kejiwaan Jessica. Dalam kesimpulannya, Ratih menyatakan bahwa Jessica sehat, waras, dan cerdas. Namun Ratih juga menyatakan bahwa Jessica memiliki gangguan mental.
"Ketidaksinkronan tujuan dan kesimpulan berarti pemeriksaan tidak bisa dipertanggungjawabkan," tandas Dewi.
JPU tak tinggal diam. Mereka balik menyerang Dewi sebagai psikolog yang seharusnya memeriksa orang justru hanya memeriksa dokumen pemeriksaan ahli lain. JPU keberatan dengan keterangan Dewi di persidangan. Terlebih ahli tersebut juga belum pernah bertemu apalagi memeriksa Jessica.
Namun hal ini dianggap tak masalah oleh kubu Jessica. Dewi hadir kapasitasnya sebagai pembanding ahli sebelumnya. "Dari awal kan dia (Dewi) meneliti data yang di-assessment. Bisa, ini second opinion," ujar pengacara Jessica, Otto Hasibuan.
Namun JPU tetap menilai, apa yang disampaikan Dewi di dalam persidangan tidak objektif. Psikolog itu dianggap cenderung membela Jessica dan mengesampingkan keilmuannya.
Menanggapi tudingan itu, Otto justru menyerang balik ahli yang dihadirkan JPU. Menurut dia, justru ahli-ahli dari kubu JPU yang tidak objektif saat memeriksa Jessica. Dia mengkritisi keterangan Ratih yang kerap mengucapkan kata 'pada umumnya' dan 'lazimnya' pada kesimpulan pemeriksaan Jessica.
Otto mempertanyakan sikap Ratih sebagai ahli yang tidak melakukan pemeriksaan Jessica lebih dalam, namun justru menyamaratakan dengan perilaku orang lain. Seharusnya, kata Otto, psikolog memeriksa kebiasaan Jessica, bukan orang lain secara umum.
"Jika cara penelitiannya pun sudah tidak kena, caranya tidak tepat, ya tidak bisa disimpulkan dong," tegas Otto.
3. Diadukan ke KY
Dari luar persidangan, terdapat tindakan sekelompok orang terkait perkara Jessica yang tak luput dari perhatian publik.
Sekelompok orang yang mengatasnamakan Aliansi Advokat Muda Indonesia (AAMI) dan Persatuan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) mendatangi Kantor Komisi Yudisial (KY), Senin siang kemarin. Mereka melaporkan tiga hakim yang menangani kasus Jessica di PN Jakarta Pusat.
Ketiga hakim, yakni Kisworo, Binsar Gultom, dan Partahi Tulus Hutapea dilaporkan ke KY atas tuduhan pelanggaran kode etik. Dalam beberapa persidangan, majelis hakim dinilai cenderung membela pihak korban, Wayan Mirna Salihin tanpa memperhatikan upaya Jessica memperoleh keadilan.
Rupanya, pelaporan terhadap majelis hakim yang diketuai Kisworo ke KY ini tanpa sepengetahuan pihak-pihak yang berperkara. Baik kubu JPU, korban, maupun Jessica tidak mengetahui perihal pelaporan tersebut.
Otto Hasibuan selaku koordinator tim pengacara Jessica merasa kaget dan terganggu atas tindakan segelintir orang itu. Ulah kelompok tersebut justru terkesan membenturkan kubu Jessica dengan majelis hakim.
"Majelis hakim sangat arif dan bijaksana. Kami sangat bangga kepada majelis. Kami tidak setuju kalau ada pihak lain intervensi pengadilan," ucap Otto dalam persidangan.
Sementara, hakim Binsar Gultom yang dikenal karena kerap mencecar keterangan saksi, meminta agar semua pihak menahan diri dan menunggu hasil persidangan usai. Dia khawatir, tindakan-tindakan semacam itu apabila dibiarkan justru akan menjadi penghinaan terhadap pengadilan.
Hal berbeda diperlihatkan Ketua Majelis Hakim Kisworo yang justru tidak terlalu ambil pusing soal pelaporan ini. Apalagi pelapor merupakan pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan besar pada perkara 'kopi sianida' tersebut.
"Kita biarkan saja. Kalau pun KY melakukan pemanggilan atau apa, tidak ada alternatif lain kecuali patuh," jelas Kisworo.
Kematian Wayan Mirna Salihin hingga kini masih misteri. Mirna tewas setelah meminum es kopi Vietnam di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Jakarta Pusat, 6 Januari lalu. Kematian Mirna diduga akibat racun sianida yang ada di dalam gelas kopi yang dipesankan Jessica.
Dalam kasus ini, Jessica menjadi satu-satunya terdakwa kasus pembunuhan berencana menggunakan racun sianida. Namun hingga saat ini, belum ada satu pun saksi yang menyatakan melihat atau mengetahui Jessica menaruh racun di kopi tersebut.
Advertisement