Liputan6.com, Jakarta - Sedianya rombongan DPD RI mengunjungi Rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Cabang Pomdan Jaya Guntur, Jakarta. Di sana, mantan Ketua DPD Irman Gusman 'menginap'.
Namun, rencana itu batal. Rombongan yang terdiri dari pimpinan itu gagal membesuk mantan ketua mereka. Sebabnya satu, KPK hanya membolehkan anggota keluarga saja yang menjenguk Irman Gusman di rutan.
Advertisement
Rencananya, rombongan DPD RI yang akan besuk Irman, yakni Wakil Ketua DPD I DPD Farouk Muhamad, Wakil Ketua II DPD Gusti Kanjeng Ratu Hemas, dan Sekretaris Jenderal Sudarsono Hardjosoekarto.
"Belum bisa besuk. Katanya baru ada email dari penyidik KPK ke DPD. Katanya yang bisa besuk hanya keluarga," ucap Protokol DPD, Suhartono di Gedung KPK, Jakarta, Kamis 22 September 2016.
Suhartono sudah dari pagi di KPK. Akan tetapi, gara-gara email dari KPK baru diterima, maka rencana itu dadak dibatalkan. Meski kecewa, namun Suhartono menghormati peraturan hukum di KPK.
Pengacara Kecewa
Pengacara Irman, Tommy Singh tak kalah sebal. Tommy juga kecewa dengan pelarangan KPK terhadap rencana rombongan DPD menjenguk Irman. Menurut dia, KPK melanggar HAM. Sebab, seharusnya tak perlu ada perbedaan antara anggota DPD RI dan keluarga Irman.
"Ini melanggar HAM menurut hemat saya. Kenapa ada perbedaan anggota DPD sama keluarga dan lawyer? Memang anggota DPD ada apa? Kan equlity before the law," ucap Tommy.
Menurut Tommy, ketika anggota keluarga diperbolehkan menjenguk, maka anggota DPD pun juga boleh. Karenanya, dia kecewa dengan sikap KPK yang melakukan diskriminatif ini.
Ketua KPK Agus Rahardjo sempat memberi komentarnya terkait itu. Meski komentar singkat, menurut Agus, tak ada pelarangan. Yang ada rombongan DPD sendiri yang memang batal menjenguk Irman.
"Tidak. Tidak. Tidak ada pelarangan. Mereka batal. Batal," ujar Agus.
Irman Gusman Terima Rp 100 Juta
KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka kasus dugaan suap rekomendasi penambahan kuota distribusi gula impor wilayah Sumatera Barat tahun 2016 yang diberikan Bulog kepada CV Semesta Berjaya.
Ketiganya, yakni mantan Ketua DPD RI Irman Gusman serta Direktur Utama CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto dan istrinya, Memi. Irman diduga menerima suap Rp 100 juta dari Xaveriandy dan Memi sebagai hadiah atas rekomendasi penambahan kuota distribusi gula impor untuk CV Semesta Berjaya tersebut.
Irman selaku penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b dan atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Sementara Xaveriandy dan Memi sebagai pemberi suap dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Hasil Pengembangan
Penetapan tersangka ketiga orang ini merupakan hasil operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Tim Satgas KPK di rumah dinas Ketua DPD RI di kawasan Widya Candra, Jakarta. Sejumlah orang termasuk Irman, Xaveriandy, dan Memi diamankan oleh tim satgas bersama dengan barang bukti uang Rp 100 juta.
OTT itu merupakan hasil pengembangan penyelidikan KPK terkait kasus dugaan suap terhadap jaksa Kejaksaan Negeri Padang, Farizal yang dilakukan oleh Xaveriandy dalam perkara distribusi gula impor tanpa sertifikat SNI di Pengadilan Negeri Padang, Sumatera Barat. Dari pengembangan penyelidikan kasus itu, tim penyelidik KPK mendapat informasi yang berhubungan dengan Irman Gusman.
Adapun, dalam perkara distribusi impor gula tanpa SNI itu, Xaveriandy sebagai terdakwa memberi suap Rp 365 juta kepada Farizal. Farizal merupakan Jaksa yang mendakwa Xaveriandy dalam perkara tersebut. Namun dalam praktiknya, Farizal bertindak seolah-olah sebagai penasihat hukum Xaveriandy dengan cara membuatkan eksepsi dan mengatur saksi-saksi yang menguntungkan Xaveriandy.
KPK kemudian menjerat Xaveriandy selaku pemberi suap dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Sedangkan Farizal sebagai penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 UU Tipikor.
Advertisement