Liputan6.com, Jakarta Pelaku industri lokal meminta pemerintah segera merealisasikan penurunan harga gas bagi industri. Penurunan tersebut akan mendorong pertumbuhan industri nasional dan meningkatkan daya saing produk yang dihasilkan di dalam negeri.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI) Dadang Heru Kodri mengatakan, pupuk merupakan salah satu sektor industri yang sangat bergantung pada ketersediaan gas dalam proses produksinya.
Advertisement
Dia menjelaskan, dalam struktur biaya produksi pupuk khususnya urea, gas mempunyai porsi sebesar 72 persen. Oleh sebab itu, realisasi penurunan harga gas ini menjadi sangat penting di industri pupuk urea.
"Harga gas industri pupuk nasional jauh lebih tinggi dibanding negara lain. Saat ini biaya produksi telah di kisaran US$ 250 per ton. Apabila harga di bawah US$ 4 per MMBTU akan menurunkan biaya produksi urea sebesar US$ 45 per ton atau menjadi US$ 205 per ton," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (23/9/2016).
Menurut Dadang, Indonesia sebagai negara pertanian yang besar perlu didukung ketersediaan dan pasokan pupuk yang diproduksi sendiri. Dengan demikian, keberadaan pabrik pupuk nasional perlu mendapat perhatian dan proteksi dari pemerintah.
"Industri pupuk perlu mendapatkan harga gas sebesar US$ 2-US$ 4 per MMBTU sesuai dengan mayoritas harga gas di dunia untuk industri pupuk," kata dia.
Sementara itu, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, selain industri pupuk, harga gas yang kompetitif bagi para industri yang berlokasi di kawasan industri akan mendorong pengembangan wilayah. Hal ini yang akan menjadi instrumen pemerataan ekonomi.
"Ini sesuai perintah Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia atau ease of doing business menjadi di kisaran peringkat 40 dari peringkat 109 saat ini," kata dia.
Untuk mencapai target tersebut, lanjut Achmad, salah satu yang harus dilakukan adalah melalui penyediaan listrik dan gas. "Sehingga dalam hal ini, harga gas memiliki peranan penting," lanjut dia.
Berdasarkan kajian kerja sama Kemenperin dengan LPEM Universitas Indonesia, apabila harga gas bumi menjadi US$ 3,8 per MMBTU maka akan menurunkan penerimaan negara sebesar Rp 48,92 triliun. Namun demikian, penurunan harga ini secara tidak langsung akan meningkatkan penerimaan berbagai pajak dari industri turunannya sebesar Rp 77,85 triliun.
"Kami tidak melihat penurunan penerimaan negara tersebut sebagai kerugian. Yang perlu dipertimbangkan adalah economic opportunity yang hilang akibat tidak berkembangnya industri berbasis gas," ungkap dia.
Selain itu, kata Achmad, penurunan harga gas nantinya juga harus diikuti dengan upaya industri melakukan revitalisasi untuk peningkatan kapasitas. Sebab harga gas yang bersaing nantinya dapat mendorong perusahaan yang saat ini berhenti produksi untuk beraktivitas lagi.
"Serta mengembalikan kapasitas industri yang produksinya turun saat ini," tandas dia.