Hakim Tidak Cabut Hak Politik Damayanti Wisnu Putranti

Majelis hakim menjatuhkan hukuman pidana penjara 4 tahun 6 bulan kepada Damayanti.

oleh Oscar Ferri diperbarui 26 Sep 2016, 14:40 WIB
Terdakwa kasus korupsi proyek Kementerian PUPR, Damayanti Wisnu Putranti, usai menjalani sidang perdana di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (8/6). Sidang mengagendakan pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum KPK. (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Majelis Hakim yang diketuai Sumpeno berbeda pendapat dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengenai pencabutan hak politik terhadap terdakwa Damayanti Wisnu Putranti. Dalam pembacaan vonis, majelis hakim tak mencabut hak berpolitik Damayanti, sehingga kelak seusai menjalani hukuman, mantan anggota Komisi V DPR dari Fraksi PDIP itu masih bisa dipilih dan memilih di dunia perpolitikan.

‎"Majelis tidak sependapat dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta untuk mencabut hak politik terdakwa dalam perkara ini," ucap Sumpeno saat membacakan vonis di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (26/9/2016).

Sejumlah alasan dikemukakan majelis hakim. Pertama, masyarakat Indonesia sekarang ini sudah cerdas menggunakan hak pilihnya untuk menentukan pilihannya dalam jabatan publik tertentu, baik eksekutif maupun legislatif.

Karena itu, majelis berpendapat sebaiknya soal politik Damayanti diserahkan kembali kepada masyarakat, untuk menilai integritas dan kapasitasnya sebagai calon pejabat publik.

Kedua, berdasarkan Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menjelaskan setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43 ayat 2, setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Lalu Pasal 43 ayat (3), setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Ketiga, pertimbangan konsideran huruf b UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yakni HAM adalah hak kodrati manusia yang bersifat universal dan langgeng sehingga harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan karena alasan apapun.

"Karena alasan-alasan tersebut di atas, hukuman penjara yang dijatuhkan kepada terdakwa sudah cukup untuk menjadi pelajaran karakter dan pembinaan mental serta sebagai pelajaran berharga, sehingga ke depannya terdakwa tidak mengulangi perbuatannya karena hukuman itu sudah memberikan efek jera bagi yang lain agar tidak coba-coba melakukan perbuatan tindak pidana korupsi,‎" ucap Sumpeno.

Majelis Hakim menjatuhi hukuman kepada Damayanti dengan pidana penjara 4 tahun 6 bulan. Majelis juga menjatuhi denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan kepada mantan Anggota Komisi V DPR fraksi PDIP tersebut.

Damayanti dinyatakan terbukti bersalah menerima suap terkait proyek jalan di Maluku dan Maluku Utara pada Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Majelis menilai, Damayanti terbukti bersalah melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat ke-1 KUHP.

‎Adapun vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa yang menuntut Damayanti dengan pidana enam tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan. Jaksa juga menuntut agar majelis hakim mencabut hak politik Damayanti untuk dipilih dan memilih dalam jabatan publik.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya