Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa sejumlah saksi, terkait kasus dugaan korupsi penyalahgunaan kewenangan oleh Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam, dalam persetujuan dan penerbitan Izin Usaha Tambang (IUP) pada 2008-2014.
Saksi-saksi yang diperiksa hari ini, yakni PNS Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Sultra Ridho Ihsan, dan empat orang dari pihak swasta yaitu Widdi Aswindi, Edy Janto, Mochamad Junus, dan Hasmir swasta.
Advertisement
"Mereka jadi saksi untuk tersangka NA (Nur Alam)," kata Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK Yuyuk Andriati saat dikonfirmasi, Senin (27/9/2016).
KPK telah menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan wewenang dalam persetujuan dan penerbitan SK IUP.
Diduga, Gubernur Sultra dua periode yakni 2008-2013 dan 2013-2018 itu menyalahgunakan wewenang dalam menerbitkan SK, yang tidak sesuai aturan perundang-perundangan yang berlaku.
Nur Alam diduga mengeluarkan tiga SK kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) pada 2008 hingga 2014. Yakni, SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, SK Persetujuan IUP Eksplorasi, dan SK Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi Menjadi IUP Operasi Produksi.
Diduga ada kickback atau imbal jasa yang diterima Nur Alam dalam memberikan tiga SK tersebut.
Atas perbuatannya, KPK menjerat Nur Alam dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
PT AHB diketahui merupakan perusahaan tambang yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara. Perusahaan tersebut melakukan kegiatan penambangan di bekas lahan konsensi PT Inco.
PT AHB juga diketahui berafiliasi dengan PT Billy Indonesia. Hasil tambang nikel oleh PT Billy Indonesia kemudian dijual kepada Richcorp International Limited, perusahaan yang berbasis di Hongkong. Perusahaan yang bergerak di bisnis tambang ini kemudian diduga mengirim uang sebesar US$ 4,5 juta atau sekitar Rp 60 miliar kepada Nur Alam lewat sebuah bank di Hong Kong.