Liputan6.com, Bandung - Disruptive trend (tren disruptif) di Indonesia diprediksi bukan hanya terjadi di sektor transportasi dan perhotelan, tetapi juga akan segera meluas ke sektor pendidikan tinggi.
Mochamad Ashari, Rektor Telkom University, Bandung, mengatakan, pihaknya mencatat sejumlah prestasi signifikan dari pola pengajaran konvensional seperti dua besar nasional pengirim paper terindeks Scopus dan enam besar kategori Webometric.
Juga, penunjukan Menteri Komunikasi dan Informatika menjadi perwakilan Indonesia untuk organisasi telekomunikasi dunia, International Telecommunication Union, sebagai pimpinan di Drafting Group for Radio Conference dan APT Wireless. Mereka juga menjalin aliansi riset dengan Oxford University di bidang keamanan siber nasional.
"Akan tetapi, disruptive trend tidak bisa dibendung. Model bisnis mereka sangat berpotensi mengganggu bidang konvensional seperti pendidikan tinggi. Setelah transportasi, ritel, dan hotel, tren ini akan menjalar ke kampus," ujar Ashari kepada Tekno Liputan6.com di Bandung, baru-baru ini.
Baca Juga
Advertisement
Ia menyebutkan, parameter betapa generasi muda sebagai user utama pendidikan tinggi demikian terkoneksi aplikasi digital khas disruptive economy. Misalnya, jumlah anggota forum Kaskus mencapai 38 juta dan jumlah pengguna belanja daring via OLX rerata 13 juta orang per bulan.
Karena itu, universitas berbasis aplikasi digital menjadi hal yang realistis terjadi. Kelas jauh dengan perantaraan video streaming yakni distance learning, menjadi suatu keniscayaan, apalagi sudah banyak contoh sukses di luar negeri.
"Sudah ada aliansi universitas online di luar, baik mahasiswa maupun perguruan tingginya, tak perlu fisik kampus. Metodenya ada yang gunakan VR (virtual reality, red.) saja, dan hasil pembelajaran nyaris sama (dengan) kelas konvensional," tutur Guru Besar di Bidang Elektronika tersebut.
Menurut Ashari, sama halnya dengan dampak ponsel cerdas di sektor lain, pendidikan di kelas besar akan makin ditinggalkan. Cara di kelas yang serba terjadwal bisa memudar karena siswa mendambakan belajar secara personal bisa kapan pun tanpa harus terikat ruang dan waktu.
"Bebas" aturan ini tak ubahnya dengan model bisnis aplikasi taksi. Dalam hal ini masyarakat bisa kapan pun memesan taksi dengan pilihan mobil yang tak seragam, namun tarif terjangkau dan manfaat setara.
"Di Indonesia, secara aturan, baru Universitas Terbuka yang sangat mengakomodasi distance learning. Namun kami, kampus-kampus lainnya, harus segera mengakomodasi ini, harus segera mengubah pola pikir analog ke digital. Kalau tidak, pilihannya adalah berinovasi atau mati," kata Ashari menegaskan.
Tim sistem informasi di kampusnya, dalam kacamata Ashari, sudah dan sedang merancang virtual class yang matang dan andal. Dengan demikian, ketika disruptive trend kian matang terjadi di masyarakat Indonesia, Telkom University sudah siap dan tidak tergeser cepat.
(Msu/Why)