Liputan6.com, Jakarta Pemerintah berencana mengutip Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rokok sebesar 10 persen untuk hasil tembakau. Terkait kebijakan ini, pelaku industri menyuarakan penolakan.
Industri telah menyuarakan penolakan terhadap kebijakan ini. Kebijakan tersebut dinilai sebagai inkonsistensi pemerintah dalam menerapkan kebijakan yang sudah diterapkan dan disepakati sebelumnya.
Advertisement
Suhardjo Sekretaris Jenderal Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) mengatakan, sejatinya pengenaan PPN 10 persen ditetapkan pada 2018. Itu karena tahun ini PPN rokok sudah dinaikkan dari sebelumnya 8,4 persen di 2015 menjadi 8,7 persen di Januari 2016.
Pada 2017, PPN rokok dijadwalkan naik menjadi 8,9 persen. Di tahun selanjutnya baru naik menjadi 9,1 persen. Menurutnya, kebijakan yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan tersebut diambil setelah adanya kesepakatan dengan pelaku industri rokok. Namun kini Kementerian keuangan ingin mempercepat jadwal kenaikan tersebut.
“Dengan BKF (Badan Kebijakan Fiskal) yang membidangi pajak disebutkan bahwa tahun depan ini sebetulnya di angka 8,9 persen. Jadi tahapan yang hasil pembicaraan dengan asosiasi itu dilanggar sendiri oleh pemerintah,” katanya, Rabu (28/9/2016).
Ia menilai percepatan kenaikan PPN ini merugikan industri. “Efeknya merugikan pelaku industri,” katanya.
Untuk itu ia meminta pemerintah tetap konsisten dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. “Kesepakatan itu ada kronologi dan history-nya. Jadi sebaiknya sesuai jadwal saja, jangan mengingkari,” ujarnya.
Dia mengatakan, industri menolak karena di saat yang sama Kementerian Keuangan melalui Direktorat Bea dan Cukai juga berencana untuk menaikkan tarif cukai rokok. Sehingga ia khawatir kenaikan PPN akan mengganggu penerimaan cukai.
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Muhaimin Moefti yang menyatakan keberatan rencana perubahan tarif PPN dari single stage tax (final) saat sekarang ke multistage tax (umum).
Pertama, perubahan ini membuat efisiensi proses penjualan menjadi menurun. “Kalau kita menggunakan sistem umum itu berarti setiap kali ada transaksi termasuk transaksi salesman kita jual ke retailer atau pengecer, dia harus membuat faktur pajak. Itu ribet sekali,” katanya.
Kedua, ada kekhawatiran para agen karena proses yang berbelit. “Sebelumnya, dia jual saja, satu atau dua slop. Tapi nanti dia juga harus mengeluarkan faktur pajak,” ujarnya.
Ketiga, perubahan sistem akan memakan waktu yang cukup lama. Pasalnya, saat ini perusahaan dengan sistem pembayaran PPN yang sudah berjalan harus merubah kembali. “Ini memakan waktu karena tidak gampang begitu saja. Membangun sistem, training kepada user-nya dan sosialisasi. memakan waktu tidak bisa setahun mungkin sampai dua tahun," paparnya.
Keempat, pemberlakuan sistem multistage akan melibatkan miliaran faktur pajak.
Lantaran itu, Moefti berharap pemerintah tetap menerapkan sistem single stage. Rencananya, dalam kurun waktu dekat pelaku industri akan kembali melakukan pertemuan dengan pihak pemerintah.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan (BKF Kemenkeu) Suahasil Nazara mengungkapkan bahwa Pemerintah berencana mengutip Pajak Pertambahan Nilai (PPN) rokok sebesar 10 persen pada saat produk tersebut keluar dari pabrik, plus 10 persen lagi saat pedagang besar menjual rokok ke pengecer atau masyarakat.
Dalam keterangannya, Suahasil menjelaskan bahwa skema ini diambil pemerintah agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat meningkatkan basis data perpajakan melalui Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) perusahaan-perusahaan pendukung industri rokok.