Liputan6.com, New York - Negara produsen minyak dan juga eksportir yang tergabung dalam OPEC menyetujui rancangan kesepakatan untuk memangkas produksi minyak. Langkah ini pertama kali dilakukan dalam delapan tahun.
Strategi OPEC ini mengejutkan pelaku pasar yang berharap ada kelanjutkan kenaikan produksi. Katalis itu pun mendorong harga minyak naik lebih dari lima persen di New York.
Pada perdagangan Rabu (Kamis pagi WIB), harga minyak Brent naik US$ 2,72 atau 5,9 persen ke level US$ 48,69 per barel, dan sentuh level tertinggi lebih dari dua minggu di US$ 48,96. Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) naik US$ 2,38 atau 5,3 persen ke level US$ 47,05 usai sentuh level US$ 47,45, tertinggi sejak 8 September.
Kesepakatan ini dinilai akan mendorong prospek sektor energi ke depan terutama perusahaan minyak Exxon Mobil Corp. Selain itu juga meningkatkan ekonomi negara kaya minyak yaitu Rusia dan Arab Saudi. Untuk konsumen bagaimana pun juga ini dapat membuat harga bahan bakar minyak lebih tinggi.
Baca Juga
Advertisement
Diperkirakan kesepakatan ini dapat terjadi lantaran Iran dibebaskan dari pembatasan Arab Saudi.
Namun tak semua detil atau rincian yang jelas mengenai kesepakatan itu hingga pertemuan berikutnya pada akhir November 2016.
"Pemangkasan produksi jelas mendorong harga minyak. Apa yang lebih penting adalah kalau Arab Saudi tampaknya kembali untuk masa pengelolaan pasar," ujar Mike Wittner, Kepala Riset Societe Generale SA seperti dikutip dari laman Bloomberg, Kamis (29/9/2016).
Adapun perjanjian itu juga menandakan babak baru dalam hubungan antara Arab Saudi dan Iran yang bentrok soal kebijakan minyak sejak 2014. Adapun tiga negara dibebaskan dari pemotongan produksi yaitu Iran, Nigeria, dan Libya.
Diharapkan produksi minyak OPEC dapat berkurang di antara 32,5 juta-33 juta barel per hari dari sebelumnya 33,4 juta. Arab Saudi, produsen minyak terbesar diharapkan dapat memangkas 350 ribu barel per hari.
Harga minyak sebelumnya sempat berada di kisaran US$ 100 per barel pada pertengahan 2014. Akan tetapi, kelebihan pasokan minyak global menyebabkan harga minyak turun ke level US$ 26 per barel pada Februari. Volatilitas harga minyak menyebabkan pasar saham merosot pada awal 2016. Meski demikian, dalam beberapa bulan terakhir, harga minyak naik dan dekati level US$ 47 per barel.
OPEC sepakat akan memangkas produksi minyak mendorong kenaikan harga minyak dalam jangka pendek. Akan tetapi, Goldman Sachs menilai, hal itu tidak akan mempengaruhi prospek pasokan minyak ke depan.
Dalam catatan ke investor, Goldman Sachs tetap prediksi harga minyak West Texas Intermediate (WTI) berada di level US$ 43 per barel hingga akhir tahun 2016. Harga minyak akan sentuh US$ 53 per barel pada 2017.
"Jika pemangkasan produksi ini ketat dan mendukung harga. Kami harap dalam jangka menengah akan direspons dengan pengeboran besar di seluruh dunia," tulis analis Goldman.
Goldman memperkirakan proposal rata-rata produksi minyak 480 ribu-490 ribu barel per hari. (Ahm/Ndw)