Liputan6.com, Garut - Hamparan lahan perkebunan kol di lereng bukit kawasan Puncak Cae, Kabupaten Garut, menghentikan langkah Rachmat Leuweung (38) pada Rabu siang, 21 September 2016. Dia melemparkan pandangan ke bukit dengan kemiringan 30 derajat di depannya. Sejenak pandangannya terpaku pada sebuah parit kecil dengan air mengalir yang membelah bukit menjadi dua bagian.
"Ini sudah masuk gentong bumi. Leuweung larangan (hutan larangan). Kita bisa memulai ritual di sini," ujar Rachmat kepada lima temannya yang merupakan bagian dari Pangauban Sewe-Siwi Cimanuk.
Advertisement
Rachmat segera melepas sepatu bot karet berwarna kuning. Kakinya kemudian berjalan lima langkah, lantas duduk bersila di titik terluar hutan keramat itu. Lima teman di belakang Rachmat mengikuti dengan tertib. Masing-masing orang mengeluarkan alat musik khas Sunda yaitu karinding dan celempung. Sebuah aba-aba menjadi penanda dimulainya tembang rajah pembuka leuweung. Tembang berisi permohonan izin kepada leluhur agar rombongan bisa masuk ke dalam hutan larangan. Suasana magis begitu terasa sepanjang ritual.
Rachmat bangkit dari silanya seusai melantunkan tembang. Tanpa mengenakan alas kaki, dia mengajak anggota rombongan—termasuk tim Liputan6.com, mendaki kawasan Puncak Cae. Perjalanan menuju ketinggian itu bertujuan menemukan mata air yang menjadi sumber aliran pada parit-parit alami yang membelah perbukitan.
Puncak Cae terletak di Pegunungan Darajat, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Mata air yang tersebar di daerah ini mengalir ke sungai Cikamiri yang merupakan bagian dari sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk. Pada Selasa, 20 September 2016, Cimanuk mengamuk dengan mengirimkan air bah ke sejumlah tempat di Kabupaten Garut. Sebanyak 34 orang tewas akibat bencana ini dan 19 orang masih hilang. Banjir bandang menyengsarakan 1.326 orang yang kini terpaksa pindah ke pengungsian. Tak hanya itu, banjir terparah dalam sejarah Garut itu membuat 2.511 rumah rusak—sepertiganya tidak bisa dipakai.
Menurut Rachmat, ada keterkaitan antara hutan larangan dan banjir Garut. Pria yang selama dua dekade menjadi pegiat lingkungan ini menyebutkan hutan larangan dahulunya ditumbuhi tumbuhan liar khas ekosistem dataran tinggi. Tumbuhan itu, katanya, mengikat tanah dan air agar tak cepat meluncur ke wilayah yang lebih rendah.
Hutan larangan di Pegunungan Darajat berhimpitan dengan dua kawasan hutan. Yaitu, hutan lindung yang dikelola Perum Perhutani Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Garut dan hutan konservasi yang dikelola Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kabupaten Garut, Kementerian Kehutanan.
Hutan itu berada di ketinggian lebih dari 1.822 meter di atas permukaan laut. Sesaat setelah melepas alas kaki, Rachmat memulai langkahnya dengan kaki kanan. Saat kaki kanan menginjak tanah hutan larangan, hamparan perkebunan kol terbentang luas di depan mata. Ladang kol itu terbentang lebih dari 100 meter persegi dengan kondisi tanah yang memiliki kemiringan 25-45 derajat.
Tak hanya kol. Sepanjang perjalanan menuju mata air Cikamiri, lahan hutan lindung itu ditanami kentang dan tomat. Ada juga pohon kopi yang ditanam di samping pohon eukaliptus—tumbuhan yang sejatinya hanya ada di Australia. Dalam perjalanan itu, tim Liputan6.com mendapati tong berukuran 100 liter air putih, hasil campuran pestisida, yang digunakan petani penggarap lahan untuk mengusir hama.
Menurut Rachmat, sayuran semestinya tak ditanam di hutan larangan. Sebab, hutan larangan diperuntukkan bagi pepohonan besar yang akarnya menancap kuat di tanah. Akar pepohonan itulah yang menjadi pengikat tanah humus dan air tanah. “Sumber material untuk kita itu di leuweung baladahan, bukan di sini. Itu leuweung produksi untuk kebun, permukiman, ternak,” ucap Rachmat.
Rachmat menuturkan, alih fungsi lahan hutan larangan menjadi perkebunan di hampir seluruh kawasan hulu anak Sungai Cimanuk menjadi penyebab banjir terbesar sepanjang sejarah Garut. Ini seperti yang terjadi di dekat mata air Cikamiri. Lahan yang diperuntukkam buat pohon dengan akar yang kuat, dipenuhi tanaman sayur.
Kota Garut berada 24 kilometer di timur hutan larangan yang menjadi sumber mata air Cikamiri. Banjir Garut terjadi tak lama setelah hujan dengan curah 225 milimeter mengguyur hutan larangan. Air hujan langsung meluncur di tanah dengan kemiringan 45 derajat tanpa sempat ditahan pepohonan. Dalam waktu 4 jam air bah yang dikumpulkan dari hutan larangan sampai di Kota Garut.
Hujan lebat juga menyebabkan longsor di beberapa tempat di hutan larangan. Berdasarkan pemantauan Liputan6.com, longsoran tanah tersebut membentuk cekungan di punggung bukit. Adapun tanah longsoran masuk ke aliran mata air. Sejumlah pepohonan tampak rusak lantaran tanahnya tergerus. Menurut Rachmat, longsoran ini yang menjadi penyebab banjir secara tak langsung. Sebab, longsoran tanah menutup sungai sehingga membendung air. “Ini terus terhimpun. Tapi pematangnya tidak kuat dan jebol. Sehingga, banjir bandang tak bisa diperhitungkan,” kata alumnus Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung ini.
Longsor di hutan lindung itu sejatinya tak bisa dibenarkan. Sebab, terjadi di kawasan hutan larangan. Menurut Rachmat, hutan larangan merupakan konsep kearifan budaya Sunda dalam memperlakukan alam. Hutan larangan merupakan naluri alam, yang mengajarkan masyarakat untuk menjaga kelestariannya. Konsep kosmologis ini sudah ada sejak lama. Jauh sebelum masyarakat kontemporer mengenalnya dengan sebutan hutan lindung ataupun hutan konservasi.
Soni Wahyuddin, salah satu anggota Pangauban Sewe-Siwi Cimanuk menerangkan, ada ratusan sumber mata air di Puncak Cae. Di antaranya, mata air Cikamiri, Cikeruh, Cipanday, Cibodas, dan Cipangligaran. Mata air itu kemudian mengalir hingga ke Sungai Cimanuk di Garut dan Sungai Citarum di Bandung .
Lantaran menjadi tempat bersemayamnya mata air, Rachmat menerangkan, konsep kearifan lokal masyarakat Sunda ini menempatkan hutan larangan sebagai hal terpenting dalam menjaga alam. Sebab, hutan larangan berfungsi menghasilkan sumber air yang berkelanjutan. “Banjir bandang ini sebenarnya adalah peringatan bagi kita semua, untuk kembali sadar dan menata kembali lingkungan.” kata Rachmat.
Masalah alih fungsi lahan di kawasan hutan ini dibenarkan Kepala BNPB Willem Rampangelie. Menurut Willem, kesalahan penggunaan dan pemanfaatan lahan menyebabkan adanya erosi di hulu anak sungai. Erosi ini kemudian membuat Sungai Cimanuk mendangkal. Akibatnya, sungai tak mampu menampung air lebih ketika terjadi hujan deras. “DAS di Cimanuk ini sudah kritis. Sungainya terjadi pendangkalan, erosi. Jadi neraca debit airnya tidak seimbang. Peruntukkan dan pemanfaatan lahan perlu dievaluasi. Bahwa di hutan sana, tutupan tidak seimbang dengan luasan wilayah DAS,” ucap Willem.
Berladang di Hutan Terlarang
Banjir bandang yang menerjang Kabupaten Garut membuat semua mata terkesima. Air bah itu menerjang hingga mencapai ketinggian 20 meter, seperti di kawasan RSUD Dokter Slamet. Tapi, banjir tak hanya menerjang kawasan perkotaan. Sejumlah tempat di Garut, juga diterjang air dengan ketinggian 8 meter, seperti di Desa Banjarsari, Bayongbong. Kawasan yang berjarak 7,3 kilometer dari RSUD Dokter Slamet itu diterjang banjir luapan Sungai Cibodas, yang merupakan salah satu anak Sungai Cimanuk.
Deddy Kurniady, salah satu korban banjir, menuturkan, banjir tersebut merupakan yang terparah. Dia heran, bagaimana wilayahnya bisa banjir. Sepengetahuan lelaki berusia 43 tahun ini, baru kali ini ada banjir. Dia menduga, lahan di hulu anak sungai sudah kritis lantaran banyak digunakan warga buat bercocok tanam sayur. “Ieu mah di luhur ruksak (ini karena kawasan di atasnya rusak),” ucap Deddy kepada Liputan6.com.
Kawasan atas yang dimaksud Deddy merujuk ke kawasan hutan lindung dan kawasan Padaawas, Pasirwangi, Kabupaten Garut. Dua kawasan itu berada di kawasan Pegunungan Darajat. Kawasan berbukit yang berada di barat Kota Garut itu kini menjadi kawasan ladang sayur. Padahal dahulu, kata Deddy, kawasan ditanami pohon-pohon tinggi yang menjulang. Saat mendatangi kawasan Pegunungan Darajat, Liputan6.com mendapati banyak ladang sayur yang membentang. Kebun sayur itu membentang di area lahan yang memiliki kemiringan 45 derajat.
Keberadaan ladang sayur yang diduga menjadi masalah, ditampik Aceng Rahman, salah satu petani setempat. Menurut Aceng, ladang tersebut sudah ada sejak lama. Jauh sebelum dia lahir, 40 tahun silam. Aceng yang merupakan petani sayur di Padaawas, Pasirwangi, menerangkan, kegiatan bercocok tanam di lahan dengan kemiringan 45 derajat ini sudah dilakukan neneknya. Ini berarti, kata dia, kegiatan tersebut sudah berlangsung tiga generasi.
Menurut Aceng, penggunaan lahan tersebut tak ada kaitannya dengan banjir yang menerjang Kabupaten Garut. Bagi Aceng, banjir yang menerjang bukan lantaran kelakuan petani sayuran. “Garut yang kena bencana banjir, tukang tani yang disalahkan. Itu enggak mungkin. Baru-baru kemarin banjir itu mah,” ucap Aceng saat ditemui Liputan6.com.
Aceng tak menampik jika banyak lahan di kawasan hutan lindung yang beralih fungsi. Menurut dia, lahan hutan lindung yang kontur tanahnya miring 45 derajat, kini banyak dijadikan ladang sayur dan sudah terjadi sejak lama. Namun, dia tak ingat sejak kapan lahan hutan itu jadi perkebunan sayur. Aceng mengatakan, penggunaan kawasan hutan lindung itu harus dengan izin Perum Perhutani. “Izin dari Perhutani, enggak mungkin tanpa izin,” kata Aceng.
Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat dan Banten, Silvana Ratina, menguatkan keterangan Aceng, Menurut dia, temuan tim BKSDA sejalan dengan keterangan Aceng. Ada alih fungsi hutan menjadi ladang sayur. Menurut Silvana, kawasan konservasi masih banyak yang tutupannya hijau. Ini berbanding terbalik dengan kawasan hutan lindung yang tutupan areanya hanya hijau muda. Tutupan itu tampak jelas dalam citra satelit keluaran 2016 yang ditampilkan di Google Earth.
“Yang (hijau) muda-muda ini merupakan awasan hutan lindung yang penuh kebun sayur. Itu bukan kawasan konservasi. Itu hutan lindung, kawasan Perhutani,” ucap Silvana saat ditemui Liputan6.com. Ladang sayur di hutan lindung ini, kata Silvana, menyumbang abrasi sedimentasi ke Sungai Cimanuk. Daya yang dikumpulkan BKSDA, kata Silvana, menunjukkan ladang-ladang sayur menyumbang abrasi sejumlah 434 ton per hektare.
Advertisement
Hutan Larangan
Peruntukkan lahan yang tak semestinya ini membuat lahan hutan lindung rusak. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengatakan, kerusakan hutan menjadi penyebab banjir bandang di Kabupaten Garut. Aher, sapaan Ahmad Heryawan, meminta sejumlah pihak untuk tak merusak hutan. Keinginan Aher ini sejalan dengan Wakil Bupati Garut Helmi Budiman. Helmi bahkan terang-terangan menyebut, kerusakan ini diakibatkan alih fungsi lahan hutan yang dikelola Perum Perhutani dan BKSDA Kabupaten Garut.
Masalah tersebut, kata Helmi, lantaran ada program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) yang dimiliki Perum Perhutani. Program ini disebut Helmi tak sejalan dengan konsep yang dirancang. “kita sudah memberikan peringatan kepada Perhutani dan BKSDA tentang kondisi hutan akibat PHBM yang tidak sesuai,” ucap Helmi.
Dalam catatan, Perum Perhutani KPH Garut mengelola 81.541,39 hektare lahan di Kabupaten Garut. Lahan yang dikelola antara lain hutan produksi tetap seluas 173,50 hektar, hutan produksi terbatas seluas 5.429,60 hektare, dan hutan lindung seluas 75.938,29 hektare. Ini berarti, Perhutani mengelola 70 persen dari 107.865 hektare lahan hutan di Kabupaten Garut.
PHBM yang dibuat Perhutani bertujuan untuk mengelola hutan bersama-sama dengan memanfaatkan sumber daya yang terkandung di dalam maupun di permukaan hutan. Program ini merupakan kelanjutan dari program-program Perhutani, sejak berdiri pada 1972. Dengan dasar program inilah, masyarakat banyak memanfaatkan lahan hutan lindung sebagai ladang.
Ini seperti yang ditemukan Liputan6.com saat mendatangi kawasan Puncak Cae, yang berada di kawasan hutan lindung. Lereng hutan yang miring 45 derajat tampak ditanami tanaman sayur seperti kol, sawi, kubis dan kentang. Padahal dengan kemiringan lereng, hutan tersebut seharusnya ditumbuhi pepohonan dengan akar yang kuat.
Heri Tandang, salah satu anggota Pangauban, mengatakan, ladang sayuran ini jelas membuat tanah di kawasan hutan lindung rawan longsor. Sebab, pohon-pohon besar yang bisa menyangga dan menyerap air lebih banyak, hanya tinggal puluhan atau ratusan batang. “Sehingga tidak bisa menahan tanah dan lumpur, akhirnya langsung masuk dari beberapa sub das dan langsung masuk ke Cimanuk dan menjebol semua area yang ada di hilir, Garut,” kata Heri.
Ketidaksesuaian konsep dan praktik PHBM ini juga dikatakan Kepala BBKSDA Jawa Barat dan Banten Silvana Ratina. Silvana menyebut, program ini salah penerapan. Sebab, program ini seharusnya dilaksanakan dengan tidak mengganggu ekosistem lingkungan yang ada. Artinya, pemanfaatan hutan tidak sampai mengganggu kondisi hutan yang ada.
“Perhutani kan punya program PHBM, tetapi itu di bawah tutupan. Ini kan pohonnya sudah enggak ada. Harusnya itu ada pohon-pohon, kemudian masyarakat ikut PHBM tumpang sari di bawahnya,” ucap Silvana.
Kepala Administratur KPH Perhutani Garut Dede Mulyana tak menampik ada kerusakan di kawasan hutan lindung yang mereka kelola. Tapi, Dede balik menuding kerusakan tersebut dilakukan masyarakat. Musababnya, kata Dede, masyarakat belum juga mau mengubah pola pikir mereka yang menempatkan hutan sebagai hutan produksi. “Kondisi hutan yang ada sekarang memang terjadi kerusakan akibat kebiasaan masyarakat dulu,” kata Dede kepada Liputan6.com.
Dia pun mengatakan, penyebab banjir yang terjadi di Garut bukan lantaran hutan yang semakin sedikit. Akan tetapi, lantaran hujan deras dan padatnya permukiman penduduk di sekitar aliran Sungai Cimanuk. Menurut Dede, hutan di dekat aliran sungai hanya sekitar 3 kilometer. Sisanya sepanjang 40 kilometer ke arah Kota Garut dari sumber mata air Cimanuk, berjejer rumah dan tanah milik pribadi. Menurut Dede, inilah yang menjadi salah satu penyebab banjir bandang lantaran tak ada sempadan sungai. “Jadi 3 kilometer dibanding dengan 40 kilometer sisanya itu hanya kurang lebih 10 persen daerah sempadan sungai,” sebut Dede.