Liputan6.com, London - Sepak bola sudah berubah. Seiring bergantinya zaman, wajah sepak bola berganti pula. Salah satu yang bergeser sangat jauh tentu saja soal loyalitas.
Matthew Le Tissier, legenda Southampton yang geram karena gelombang eksodus tanpa henti bintang The Saints, tegas-tegas mengatakan, saat ini tak ada lagi loyalitas di sepak bola. Berbeda dengan masanya, kini kian sulit menemukan pemain yang mau berkiprah di sebuah klub hingga pensiun.
Baca Juga
Advertisement
One-club man sangat langka. Mungkin jumlahnya bisa dihitung jari. Makanya, tak heran bila laman Football Italia membuat bahasan khusus ketika Francesco Totti merayakan ulang tahun ke-40, Selasa (27/9). Totti adalah satu dari sedikit pemain yang tak pernah berpindah klub. Sejak 1992, dia setia membela panji AS Roma.
Sepanjang kariernya, bukan tak ada kesempatan bagi Totti untuk pindah. Menurut dia, andai cuma mengejar uang dan trofi, dia sudah meninggalkan Roma pada satu dekade lalu. Dia bertahan karena menuruti kata hatinya, bisikan batinnya.
Walaupun mengkritik pemain-pemain zaman sekarang yang menurutnya bak gipsi, Totti memahami bahwa bertahan di sebuah klub sepanjang karier bukanlah satu-satunya opsi bagi semua pesepak bola. Le Tissier pun mengakui hal itu.
Mereka yang memilih kutub berlawanan, berpindah-pindah klub bak kutu loncat, punya alasan tersendiri. "Fans mungkin loyal kepada klub. Itu bagus. Tapi, karier pesepak bola itu singkat saja. Dia harus memikirkan kepentingan pribadinya," terang Zlatan Ibrahimovic yang musim ini bergabung dengan Manchester United.
Kepentingan pribadi yang disebutkan Ibra, di antaranya tentu menyangkut kesejahteraan, kejayaan, dan ketenaran. Jika klub lain menawarkan peluang lebih besar untuk hal-hal itu, hengkang dari klub lama bukanlah langkah yang keliru.
Lagi pula, pilihan bertahan tak sepenuhnya ditentukan oleh pemain. Bila klub tak berkenan mempertahankan, pemain mana pun tak bisa memaksakan kehendaknya. Coba saja tengok kisah Raul Gonzalez dan Iker Casillas yang urung mengakhiri karier di Real Madrid.
Anomali Wenger
Anomali Wenger
Bicara soal loyalitas, ada satu sosok yang patut diberi perhatian khusus pada akhir pekan ini. Dia adalah Arsene Wenger. Sabtu (1/10), dia genap dua dekade menjadi manajer Arsenal.
Di kasta tertinggi sepak bola Inggris, Wenger adalah sebuah anomali. Dia merupakan manajer kedua yang berkiprah hingga 20 tahun di sebuah klub. Sosok lainnya tentu saja Sir Alex Ferguson yang pensiun pada 2013 setelah 27 tahun menangani Man. United.
Wenger memang tak memiliki koleksi trofi sebanyak Sir Alex. Tapi, bertahan sedemikian lama tetap saja prestasi tersendiri. Itu adalah bukti kemampuan apiknya memoles tim dan memakmurkan klub. Tanpa pencapaian apik di dalam dan luar lapangan, sulit bagi seorang manajer untuk bertahan lama.
Apalagi tingkat kesabaran para petinggi klub dalam beberapa tahun terakhir ini menurun drastis. Bahkan, sepanjang era Premier League yang dimulai pada 1992-93, rata-rata masa kerja manajer tak sampai tiga tahun. Untuk musim ini, di bawah Wenger, manajer dengan masa kerja terlama di klubnya adalah Eddie Howe. Dia menjalani tahun keempat di Bournemouth.
Hal yang menarik dari Wenger, dia memulai kiprahnya dengan tanda tanya besar. Arsene who?
Begitulah pertanyaan yang berkecamuk di benak banyak orang pada September 1996 ketika Wenger dipastikan menjadi pengganti Bruce Rioch. Apa hebatnya pria Prancis ini sehingga Arsenal berpaling kepadanya setelah gagal memboyong Johan Cruyff, sang maestro?
Maklum saja, meski sempat menjuarai Ligue 1 Le Championnat bersama AS Monaco dan juara Piala Kaisar saat menangani Nagoya Grampus Eight, nama Wenger terbilang asing. Di Inggris, sosok yang tahu betul soal pelatih berjuluk The Professor itu mungkin hanya Glenn Hoddle yang pernah membela Monaco.
Keraguan bukan hanya milik awam. Para penggawa The Gunners pun tak kalah skeptis terhadap sang manajer anyar. Tony Adams tentu tak akan lupa bagaimana mereka mempertanyakan kemampuan Wenger dan menertawakan tampangnya yang lebih mirip guru sekolahan ketimbang pelatih sepak bola.
Advertisement
Prestasi Istimewa
Prestasi Istimewa
Segudang tanya dan keraguan itulah yang mengiringi langkah Wenger di Highbury. Namun, kesan awal yang tak indah itu bukanlah tanda dirinya akan lengser lebih awal. Dia tak seperti Josef Venglos yang gagal menerapkan revolusi di Aston Villa usai Piala Dunia 1990.
Wenger merevolusi total Arsenal. Bukan hanya menjadikan The Gunners pesaing paling konsisten bagi Man. United, dia juga membuat klub asal London Utara itu lebih modern dan kaya. Tengok saja, sejak 2001-02, Arsenal selalu berada di 10-besar klub dengan pendapatan terbanyak dalam daftar yang dirilis Deloitte.
Di lapangan hijau, bukan hanya tiga kali mengantar The Gunners juara Premier League, dia juga menorehkan beberapa catatan spesial. Bila Sir Alex dikenang oleh Class of 92, Wenger selalu mengingatkan orang pada Invincible Arsenal 2003-04. Tim musim itu diakui The Professor sangat istimewa.
Prestasi lain Wenger adalah selalu sukses membawa Arsenal finis di top four Premier League. Berkat itu, The Gunners selalu berkiprah di Liga Champions. Ini prestasi unik karena Sir Alex saja baru pada musim keenamnya mampu membuat Red Devils stabil finis di 3-besar Premier League hingga dia pensiun pada 2013.
Satu lagi, Arsenal bersama Wenger selalu finis di atas Tottenham Hotspur, seteru abadi di London Utara. Terakhir kali The Gunners finis di bawah Tottenham pada 1994-95 atau setahun sebelum kedatangan The Professor. Musim lalu, meskipun Tottenham tampil luar biasa bersama Dele Alli dan Harry Kane, tetap saja Arsenal finis di posisi lebih tinggi.
Dua puluh tahun berlalu, Wenger memang sudah tua. Dia tak lagi terlihat brilian. Sering kali, ketika timnya kesulitan, The Professor seperti kehilangan ide. Metode yang semula dianggap revolusioner pun kini sudah ketinggalan zaman. Namun, Wenger tetaplah pria istimewa.
Sebagian fans The Gunners boleh-boleh saja berharap The Professor tak memperpanjang kontraknya pada akhir musim nanti karena sejak 2004 gagal mempersembahkan trofi Premier League. Kebetulan FA membidiknya untuk menggantikan Sam Allardyce yang baru saja dipaksa mundur dari kursi manajer timnas Inggris.
Akan tetapi, saat melawat ke Turf Moor, Minggu (2/10), rasanya tak pantas bagi siapa pun meneriakkan Wenger Out! Apalagi Mesut Özil dkk. tengah moncer. Mereka selalu menangguk kemenangan dalam empat laga terakhir di semua ajang. Untuk sementara, kebencian-kebencian terhadap Wenger harus ditepikan. Inilah saat untuk menghargai pengabdian pria Prancis yang sudah menganggap Arsenal sebagai anak kandungnya.