Liputan6.com, Sumenep - Empat benda yang diduga kuat pecahan roket Falcon 9 jatuh di Sumenep pada Rabu, 28 September 2016. Meski membahayakan dan merusak properti warga, keberadaan benda itu di wilayah Indonesia dinilai sebagai kesempatan berharga untuk pengembangan teknologi roket di Indonesia.
Peneliti bidang astronomi astrofisika dari Pusat Sains Antariksa Lapan, Rhorom Priyantikanto, menuturkan keempat benda yang terdiri dari tiga tangki bahan bakar dan satu panel kontrol itu telah menarik perhatian Pusat Teknologi Roket yang bermarkas di Bogor.
Mereka, kata Rhorom, tertarik untuk meneliti struktur benda langit yang jatuh menimpa dua rumah dan kandang sapi warga itu.
"Sementara ini yang kita lihat material yang digunakan pada roket itu adalah serat-serat karbon. Ini menarik untuk diteliti karena teknologi roket kita belum sejauh itu. Jadi ini kesempatan berharga," kata Rhorom kepada Liputan6.com, Kamis, 29 September 2016.
Baca Juga
Advertisement
Mengingat temuan pecahan roket yang jatuh cukup banyak, Lapan kemungkinan bersedia berbagi temuan itu untuk bersama-sama dipelajari. Pasalnya, Pusat Sains Antariksa Lapan juga berencana untuk mempelajari lintasan roket dan memperkirakan waktu jatuhnya roket berdasarkan temuan itu.
Selain itu, ada satu benda yang akan diserahkan ke Puspiptek untuk dipajang di museumnya.
"Kami bisa pelajari kapan roket mengalami pecah," kata dia.
Menurut Rhorom, ada belasan ribu sampah antariksa melayang di luar angkasa. Beberapa di antaranya melintas di daerah ekuator.
"Setiap hari bisa satu atau dua, tapi karena ketinggiannya lebih tinggi di atas 100 km di atas permukaan bumi dan berotasi dengan kecepatan tinggi, dia tidak masuk ke bumi," tutur dia.
Roket Falcon 9 adalah milik Space-X, Amerika Serikat, yang telah digunakan mengorbitkan satelit JCSAT 16 pada 14 Agustus 2016.
Lapan telah menerima dan menyimpan objek sampah antariksa yang jatuh di Indonesia yang hingga kini setidaknya ada tiga objek, yakni dua pecahan bekas tabung bahan bakar roket Rusia yang jatuh pada 1981 di Gorontalo dan di Lampung pada 1988, serta pecahan roket Tiongkok pada 2003 di Bengkulu.