Liputan6.com, Jakarta Anggota Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun menyatakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) semakin agresif melakukan penutupan pabrik rokok yang diketahui tidak patuh menyetor cukai hasil tembakau (CHT) ke kas negara.
Dia menjelaskan, data DJBC menyebutkan, sebanyak 3.915 pabrik rokok di seluruh Indonesia ditutup pemerintah selama kurun waktu 2007-2016 atau selama 10 tahun.
Advertisement
Menurut Misbakhun, tutupnya ribuan pabrik kretek lebih disebabkan kebijakan kenaikan cukai yang tiap tahun dilakukan pemerintah. Kenaikan cukai terutama dirasakan pabrikan yang memproduksi kretek tangan (Sigaret Kretek Tangan).
"Dampaknya PHK massal terjadi di pusat-pusat industri hasil tembakau (IHT)," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (230/9/2016)
Melihat kondisi tersebut, Misbakhun meminta pemerintah berempati pada IHT. Sebabnya, IHT tengah menghadapi situasi pasar yang pelik setelah dijerat kenaikan cukai tahun lalu sebesar 12 persen-16 persen.
Dia menyatakan kenaikan cukai rokok tahun lalu membuat berkurangnya pangsa pasar. Namun yang lebih berat lagi adalah beban industri yang harus membayar cukai di muka pada 2015 lalu.
"Saya berharap pemerintah berempati atas kondisi IHT saat ini. Dengan target kenaikan cukai rokok pada 2017 sebesar Rp 149,8 triliun sebagaimana pada RAPBN 2017, kondisi ini berat bagi industri," kata dia.
Misbakhun mengatakan, dalam prosentase nilai tambah ekonomi, sektor IHT hanya mendapatkan porsi 13 persen dalam struktur keseluruhan volume, dan itu terus digencet oleh Pemerintah. Sementara, pemerintah mendapatkan porsi 56 persen dan Petani 11 persen. Sisanya pedagang perantara tembakau dan jalur distribusi hasil industri.
Misbakhun mengungkapkan, di Kabupaten Probolinggo, terkenal tembakau paiton merupakan bahan baku rokok kretek yang dibutuhkan dalam jumlah cukup banyak karena berperan sebagai tembakau semi aromatis atau nasi. Luas areal tanam tembakau di Kabupaten Probolinggo, jika tahun lalu 10.744 hektar dan naik pada 2016 menjadi 15.532 hektar, mengingat permintaan tembakau meningkat.
"Sementara, di Kabupaten Pasuruan terdapat lebih kurang 9 industri hasil tembakau yang memperkerjakan 15 ribuan pekerja," kata dia.
Selain itu dengan kenaikan cukai, lanjut Misbakhun, juga makin meningkatkan peredaran rokok ilegal. Menurut catatan, akibat rokok ilegal kerugian negara ditaksir hingga Rp 9 triliun. Sepanjang 2016 ini, DJBC mencatat telah menindak sebanyak 1.300 kasus peredaran rokok ilegal.
"Makin tinggi nilai cukai, makin besar potensi kematian pabrik, dimulai dari golongan menengah ke bawah. Makin tinggi nilai cukai, makin besar potensi angka smuggling rokok. Kebijakan kenaikan cukai yang proporsional dapat menjaga pertumbuhan industri dan mengontrol smuggling," jelas dia.
Misbakhun berharap agar regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah seperti dengan mengatur pengendalian tembakau, termasuk pungutan cukai hasil tembakau tidak mematikan keberlangsungan sektor ekonomi tembakau di Indonesia.
“Dalam konteks itulah, peran negara seperti ini harus diatur dengan regulasi yang melindungi industri hasil tembakau dan petani tembakau sehingga kemandirian ekonomi sebagaimana cita-cita pemerintahan," tandas dia.