Liputan6.com, Aleppo - Ketika Bana al-Abed bangun dari tidur siangnya, ia bertanya kepada sang ibu, "Apakah hari sudah pagi?"
Cahaya berkelebat di balik jendela kamarnya. Namun, itu bukanlah sinar alami, melainkan api yang berkobar dari rumah tetangganya setelah dihantam bom.
Advertisement
"Ketika bom-bom berjatuhan, hati kami bergetar, jauh lebih dulu sebelum gedung-gedung itu (ambrol)," kata sang ibu, Fatemah, dalam wawancara lewat Skype. Dikutip Liputan6.com dari The Guardian, Senin (3/10/2016) suara tembakan senapan mesin terdengar selama wawancara berlangsung. Bana ada di sampingnya kala itu.
Selama 10 hari berturut-turut, banyak bom berjatuhan di timur Aleppo, salah satu kota yang diperebutkan antara pemerintah Suriah, oposisi, dan ISIS. Serangan udara gencar dilakukan oleh pesawat tempur Rusia dan Suriah. Ratusan orang dan lebih dari seribu terluka. Akibatnya, pasien menumpuk di rumah sakit yang tersisa -- lokasi yang sejatinya terlindungi di bawah Konvensi Perang justru diserang.
Jalan diplomasi antara Washington dan Moskow gagal. Gencatan senjata yang seharusnya dilakukan, dilanggar.
Rabu minggu lalu, UNICEF melaporkan 100 anak-anak tewas dalam sepekan.
Bana dan sang ibu, sejauh ini selamat. Menggunakan media sosial Twitter, mereka memperlihatkan kondisi terkini. Akun Tweeter @alabedbana-- yang kini memiliki lebih 4.000 pengikut semenjak mereka mulai berkicau pada 24 September lalu.
Cuitan pertamanya adalah, 'Aku merindukan kedamaian'. Lalu, tweet berikutnya menggambarkan kehidupan mereka di bawah serangan bom. Juga ada tentang kehidupan Bana seperti menggambar atau belajar bahasa Inggris.
Kebanyakan Tweetnya dalam bahasa Inggris dasar, tentang anak yang sedang mengekspresikan dirinya. Kadang, mereka membuat live-tweets tentang hancurnya sebuah gedung dekat keduanya tinggal. Juga video tentang upaya penyelamatan para penduduk sipil yang terperangkap di reruntuhan. Guardian memutuskan untuk tidak membuka lokasi tempat tinggal Bana dan sang ibu di Aleppo.
"Bana kerap kali bertanya kepadaku, 'kanapa dunia tak mendengar kami? Kenapa tak ada yang membantu kami?'" kata Fatemah ketika ditanya alasan menggunakan Twitter.
Tak Lagi Sekolah
Bana dan adik lelakinya berusia 5 tahun sudah tak lagi sekolah. Pada suatu hari, sang ibu menyeberang garis depan pertempuran untuk pergi ke universitas, namun jalanan semakin mengerikan, akhirnya ia memutuskan untuk berhenti kuliah.
Ia membawa Bana ke sekolah lokal, namun institusi pendidikan itu hancur dibom tahun lalu.
Sekolah yang tersisa terlalu jauh, terlalu berisiko membiarkan anak perempuannya pergi sendiri. Semenjak saat itu ia memutuskan untuk mengajari anak-anaknya secara mandiri.
Ketika ditanya soal mengapa tak sekolah, Bana menjawab, "Sekolahku sudah hancur."
Fatemah memutuskan untuk bertahan di Aleppo, karena berpikir konflik tak bakal berlangsung lebih dari 2 tahun. Dan kota itu adalah dunianya.
"Kau tak bisa meninggalkan ini semua. Di sini ada orangtua kami, ini negara kami, rumah kami, nafas kami."
Kehidupan sungguh sulit bagi Bana dan Fatemah. Tak ada buah maupun sayur di pasar. Pengepungan kota itu telah terjadi selama 3 bulan, akibatnya kekurangan pangan dan obat-obatan pun terjadi.
Hanya tersisa sedikit bahan bakar untuk menyalakan lampu jadi keluarga itu bergantung pada panel tenaga matahari untuk bertahan.
Menurut sang ibu, Bana sendiri banyak berubah. Yang ia ketahui hanyalah konflik dan perang. Bocah 7 tahun itu tumbuh pemalu dan mudah pecah konsentrasinya. Tidur hanya 4 jam sehari adalah keajaiban baginya. Ia ingin pergi ke luar, ke sekolah namun, pilihannya hanya tinggal di rumah atau bermain dengan anak tetangga mereka.
Di sela-sela wawancara, suara kecil Bana menyelak, "Kami anak-anak, kami mencintai kehidupan. Kami ingin dunia mendengar kami."
Perang telah merenggut apa yang biasa mereka sebut 'kehidupan'. Kini mereka bertanya-tanya, apakah mereka masih hidup di esok hari.
Saat wawancara, tiba-tiba terdengar suara deru pesawat tempur.
"Mereka yang mengepung kami berpikir kami semua adalah teroris. Namun, seperti yang Anda lihat, kami semua manusia biasa. Kami orang Suriah, dan kami warga Aleppo..."
Advertisement