Liputan6.com, Probolinggo - Menetap di sekitar Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, Desa Wangkal, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, masih menjadi pilihan Imanullah Sukardi.
Pria 58 tahun asal Pasuruan, Jawa Timur itu menceritakan, apa yang dilakukan dia di padepokan Dimas Kanjeng, adalah untuk mencari ketenangan jiwa dan mengaktualisasi diri.
Advertisement
"Saya di sini memilih untuk mengaktualisasikan diri saya, dan memang informasi adanya padepokan ini saya dapat sejak 2010, dan baru saya resmi jadi santri di sini pada 2013," tutur Sukardi kepada Liputan6.com, Senin, 3 Oktober 2016.
Namun, pria yang mengaku juga pernah menjadi dalang ini tidak sepenuhnya menetap berlama-lama di Padepokan Dimas Kanjeng.
"Setiap satu bulan sekali atau dua minggu sekali saya pulang ke Pasuruan," ujar pria yang juga Alumnus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya itu.
Di lahan seluas 15 hektare milik Padepokan Dimas Kanjeng, berdiri puluhan bangunan tenda yang dihuni beraneka ragam suku. Sukardi pun berbaur dengan santri lainnya yang tinggal di tenda-tenda itu.
Santri di padepokan ini sama seperti di pondok pesantren lainnya. Karena itu, kakek lima cucu ini yakin ajaran Dimas Kanjeng tidak menyesatkan.
"Saya masih punya keyakinan yang kuat bahwa ajaran Kanjeng Dimas Taat Pribadi ini benar adanya. Karena di padepokan ini saya bisa meningkatkan spiritual saya, intelektual saya juga, tentunya sosial saya sendiri," ujar Sukardi.
"Bukan berarti di rumah tidak bisa, tetapi yang saya butuhkan itu Insyaallah saya dapatkan," tegas dia.
Selama tinggal di padepokan Dimas Kanjeng, Sukardi tinggal bersama sepuluh orang dalam satu tenda. Untuk biaya makan memang masing-masing, tapi biaya listrik para santri biasa berbagi.
"Kalau bayar listrik seikhlasnya, di sini saya ada Rp 50 ribu ya patungan. Itu berjalan sudah turun menurun," ucap pria yang sudah beruban ini.
"Tetapi rejeki selalu ada karena ini adalah janji Tuhan pada umatnya. Memang tidak semua fenomena yang tidak bisa diterima oleh akal sehat dan rasio, mampu ditangkap seperti manusia umum," sambung Sukardi.
Karena itu, Sukardi merasa heran MUI yang justru menuding ajaran padepokan Dimas Kanjeng sesat.
"Sekarang kalau sesat, ajaran Dimas Kanjeng kenapa bapak polisi dan banyak wartawan juga justru mendirikan salat di masjid yang berdiri di padepokan ini? Toh kami justru tidak melarang mereka salat di sini," kata mantan guru agama SMP ini.
Dalam sehari-hari, Sukardi juga berbaur dengan santri yang berasal dari daerah lain seperti Bali dan Makassar. Bahkan, dia berbaur dengan santri dari agama yang berbeda, seperti Hindu.
"Di sini memang fokus kepada ajaran kun fayakun, di mana ajaran itu sendiri diamalkannya memang usai salat lima waktu dan namanya salawat fulus sendiri itu memang ada," tegas dia.
Sementara, saat Liputan6.com menyambangi tenda didesain dengan bangunan ciri khas Bali, ternyata kosong. Tenda milik para santri asal Bali sudah tiga hari terakhir tak berpenghuni.
Pengalaman Gaib
Pengakuan lainnya diungkapkan santri bernama Arifin Aming, warga Jember. Meski mengaku hanya mendapatkan keuntungan Rp 300 ribu dari Rp 100 ribu yang digunakan sebagai akad sejak hampir tiga tahun lalu, dia tetap tinggal di padepokan itu.
"Saya masuk jadi santri memang baru 2014 kemarin, dan saya dapat informasi bahwa kabar ada uang yang diambil dari Gunung Lawu, ada seorang yang mengambil dan standby di sana. Tapi wujudnya seperti apa itu yang tidak semua tahu, hanya Kanjeng saja yang mengontak dari sini," beber Arifin.
Arifin bahkan mengaku pernah mengalami pengalaman gaib di padepokan Dimas Kanjeng. Saat itu, dia sedang mengaji bersama santri lainnya di dalam tenda, tiba-tiba ia melihat langit sangat terang, melebihi sinar penerangan di sekitar tenda itu.
"Saya saat itu melafalkan, bermunajat kepada Tuhan, tiba-tiba ada gumpalan awan itu berwarna cerah melebihi lampun neon di sini. Dan itu hanya selang 30 menit saja, dan saya lihat santri lain di sekitar sini ada ribuan, masih menunduk memohon pada Tuhan," kata pria penyuka kopi rempah ini.