Mereka Perjuangkan Kembalinya Tanah Leluhur

Warga tepi hutan terusir dari kampungnya pasca-geger 1965. Liputan6.com menuliskan cerita mereka bertahan hidup dan menuntut haknya kembali.

oleh Aris Andrianto diperbarui 04 Okt 2016, 21:22 WIB
Warga yang terusir pasca-1965 terus menuntut hak tanah leluhurnya (Liputan6.com / Aris Andrianto)

Liputan6.com, Purwokerto - Suara tembakan terdengar dua kali memecah Subuh. Pada tembakan ketiga, suara lantang lima polisi membuat puluhan orang ke luar dari rumahnya.

“Keluar semua. Kalau tidak saya tembak,” ujar polisi memecah keheningan pagi di Desa Cikuya Kecamatan Cipari, Cilacap, Jawa Tengah, diceritakan Sabtu, 17 September 2016.

Kisah tersebut diceritakan oleh Adminem, 70 tahun, penduduk Cikuya. Pengusiran itu terjadi setelah di Jakarta meletus peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Operasi pembersihan anggota Partai Komunis Indonesia saat itu juga dibarengi dengan operasi perampasan lahan milik petani.

Tanah itulah yang saat ini sedang diperjuangkan kembali oleh Adminem dan 17 ribu petani lainnya di wilayah Cilacap Barat. "Sebelum ayah saya mati, beliau berwasiat bahwa tanah ini suatu saat akan kembali," ujar Adminem mengenang masa lalunya.

Ia mengaku perih hatinya jika mengingat kembali saat tanahnya dirampas. Luasnya sekitar empat hektare.

Menurut dia, tanah itu sudah dibuka oleh kakeknya sejak tahun 1932. Pembukaan tanah atau trukah itu membutuhkan proses cukup lama. Mereka harus membuka hutan yang masih perawan. Babat alas.

Tak jarang ada yang mati karena diserang binatang buas. Setelah membuka lahan, mereka mendirikan perkampungan dan lahan pertanian. Saat ini bekas perkampungan yang ditinggalkan paksa oleh penduduknya pun masih ada.

Pada saat pengusiran paksa itu, Adminem sudah mempunyai empat orang anak. Ia pun harus membawa empat anak itu dengan berjalan kaki menuju pasar. Ia ditahan selama sebulan bersama perempuan yang lain.

“Saat itu suami-suami pada lari ke hutan menghindari penangkapan, termasuk suami saya, Rasman,” katanya.

Jika menolak pergi dari tanahnya, mereka akan dituduh terlibat PKI. Tuduhan itu juga dialami oleh tetangganya, Sandarjo, 77 tahun, yang saat kejadian menolak untuk pergi dari rumahnya.

Padahal, Sandarjo yang buta huruf tidak tahu menahu urusan politik, termasuk apa itu PKI. Ia bahkan ditahan selama setahun dan mendapatkan penyiksaan setiap hari selama dalam tahanan.

Menurut Adminen, saat itu yang paling menderita adalah para istri. Saat itu semua laki-laki dibawa ke tahanan atau kabur ke hutan. “Kami diangkut pakai truk seperti hewan,” ujar dia.


Mengungsi di Negeri Sendiri

Warga yang terusir pasca-1965 terus menuntut hak tanah leluhurnya (Liputan6.com / Aris Andrianto)

Tanpa kepala keluarga, Adminem harus memberi makan keempat anaknya. Saat itu ia makan apa saja yang bisa dimakan.

Jika sedang galau, Adminem sering menangis sendiri. Ia terus teringat wasiat ayahnya agar tanah yang sudah dirampas bisa kembali.

“Rasanya memang menyakitkan. Leluhur kami yang membuka hutan mereka yang menikmatinya,” kata dia.

Setelah terpaksa meninggalkan rumah, banyak di antara mereka yang hingga kini masih tinggal di pengungsian. Istilahnya pemukiman tampungan.

“Saat itu saya masih kecil. Ibu dan bapak saya menyeret saya untuk segera pergi dari rumah,” kata Saodah, 48 tahun.

Meski masih kecil, ia ingat betul saat kedua orang tuanya, Mad Yasin dan Sakinah, membawanya ke tampungan. Mereka pun membangun rumah seadanya dengan daun ilalang. Sekitar rumah penuh lumpur dan banjir.

Padahal, sebelum tanahnya dirampas oleh negara, hidupnya tergolong makmur. Tanah trukah yang mereka garap sudah menghasilkan hasil pertanian.

“Dulu kami makmur karena bisa memenuhi segala kebutuhan dari ladang kami,” katanya.

Ia mengakui geger politik 65 yang sama sekali tidak terkait dengan keluarga mereka sudah merenggut harga diri mereka. “Kami khawatir suatu saat kami juga akan diusir dari tanah tampungan ini,” ujarnya.

Ketua Kelompok Tani Desa Cikuya, Karsiman, mengatakan perjuangan untuk memperoleh tanah mereka kembali sudah dilakukan selama bertahun-tahun. “Kami sudah kenyang dicap sebagai PKI gaya baru,” ujarnya.

Menurut dia, perampasan lahan oleh negara pada waktu itu memang erat kaitannya dengan perburuan orang-orang PKI. Saat itu para lelaki diburu, ditangkap, diikat, dikumpulkan, lalu diinterogasi. Jika jawabannya tidak memuaskan, maka akan mendapat penyiksaan.


Ribuan Hektare Tanah Sengketa

Warga yang terusir pasca-1965 terus menuntut hak tanah leluhurnya (Liputan6.com / Aris Andrianto)

Karsiman menyebutkan saat itu ada 23 kepala keluarga yang tanahnya dirampas. Total lahan yang dirampas mencapai 72 hektare. Sebagian dari lahan itu kini berhasil mereka kuasai kembali.

Tapi kepemilikan haknya masih dipegang oleh negara. “Rencananya kami akan menjadikan lahan ini sebagai lahan komunal agar tidak diperjualbelikan,” kata dia.

Proses redistribusi lahan memang pernah sukses diperjuangkan oleh petani Cipari pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

“Namun itu adalah redistribusi yang gagal,” kata Petrus Sugeng, 66 tahun, Ketua Majelis Pertimbangan Organisasi Serikat Tani Mandiri (STAM) Cilacap.

Sugeng merupakan pendiri STAM pada tahun 2000. Ia getol memperjuangkan kembalinya tanah milik 17 ribu petani yang dirampas pascakejadian 1965.

Menurut dia, saat ini ada sekitar 12 ribu hektare tanah yang masih disengketakan. Wilayah itu meliputi 10 kecamatan di Kabupaten Cilacap.

Ia menambahkan, di lahan sengketa tersebut juga banyak terdapat kuburan massal pembantaian orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Secara kasar ia memperkirakan ada 500 lubang yang tiap lubang diisi minimal 10 orang.

Menurut dia, kuburan massal itu merupakan bukti bahwa perampasan lahan sebelumnya selalu didahului dengan tuduhan terlibat PKI. Hingga kini pun, ia sering dituduh sebagai ketua gerakan Neo PKI yang akan meneruskan ajaran-ajaran PKI.

Soal redistribusi lahan, Sugeng hingga saat ini belum ada presiden yang berhasil menjalankan reforma agraria. “Reforma agraria masih dipandang sebagai bagi-bagi lahan,” katanya.

Ia mencontohkan, pada pemerintahan SBY pernah dibagikan lahan sengketa seluas 291 hektare. Lahan itu dipecah menjadi 5.100 kapling. Saat itu petani harus membeli lahan itu sejumlah Rp 750 ribu untuk satu kapling.

Karena tak mempunyai uang, tanah yang sudah dibagikan itu lantas dijual kembali. “Proses ini sudah tidak betul. Makanya sekarang kami perjuangannya adalah dengan status tanah komunal,” katanya.

Dengan sistem tanah komunal, petani tidak bisa memperjualbelikan lahannya lagi. Mereka hanya bisa mengolah lahan itu secara turun temurun dengan aturan yang dibuat bersama.


Menagih Reforma Agraria

Warga yang terusir pasca-1965 terus menuntut hak tanah leluhurnya (Liputan6.com / Aris Andrianto)

Dalam sebuah diskusi dengan tema membongkar reforma agraria di rezim Jokowi-Jusuf Kalla yang diselenggarakan di Universitas Soedirman, pekan lalu, Jarot C Setyoko, aktivis agraria Banyumas mengatakan, saat ini tidak ada partai politik yang mempunyai perspektif agraria.

Menurut dia, reforma agraria dipahami hanya sebatas bagi-bagi tanah dan sertifikasi lahan. “Padahal reforma agraria masuk dalam Nawacitanya Jokowi,” ujar dia.

Jarot mengatakan isu reforma agraria juga tidak populer di kalangan kelas menengah. Isu ini masih kalah dengan persidangan Jessica dan kisah perseteruan Mario Teguh dengan anaknya.

Nazir Salim, dosen Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, mengatakan saat ini hampir mayoritas anak petani tidak mempunyai cita-cita sebagai petani.

“Didikan orangtua. Nanti kalau sudah besar jangan jadi seperti Bapak ya, Nak,” ucap dia.

Jika reforma agraria berhasil, ia menandaskan, kedaulatan pangan Indonesia akan bisa diraih. Saat ini penguasaan lahan mengalami ketimpangan yang luar biasa.

Syarat utama agar konflik lahan pasca-65 adalah menyelesaikan terlebih dahulu penyelesaian kasus 65. Saat ini kalau berbicara reforma agraria, maka akan langsung dicap sebagai orang PKI.

Yahya Zakaria dari Konsorsium Pembaharuan Agraria menambahkan, reforma agraria selama ini palsu. Pola perebutan lahan selalu sama dari tahun ke tahun.

Lahan kini dimonopoli oleh Perhutani. Selain itun ada 252 perusahaan besar yang menguasai lahan di Indonesia, sementara sisanya dikuasai oleh 2.400 badan usaha pertanian.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya