Liputan6.com, Jakarta Jika dilihat dari tampilan fisik wanita berparas ayu ini, tentunya tidak akan ada yang menyangka bahwa ia adalah seorang dokter. Wajah cantik dan tinggi badan bak Puteri Indonesia yang tercatat mencapai 170 cm milik dokter cantik bernama Sabai Asmaraghrya ini membuat banyak orang kaget lantaran lebih cocok dipandang sebagai seorang model atau selebriti.
Memang betul sebelum menjadi seorang dokter, rupanya Sabai sempat memenangkan sebuah kontes Abang None Jakarta Pusat (Abnon) 2004 dan meraih kandidat None Terfavorit. Meski pernah terjun langsung ke dunia modeling, niatnya jauh lebih kuat untuk berkecimpung di ranah kedokteran.
Advertisement
Faktor kesiapan adalah bekal utama untuk menjadi seorang dokter. Seperti harus siap menjalankan proses pendidikan yang panjang juga biaya pendidikan yang tidak sedikit.
Selain itu menjadi seorang dokter digambarkan dengan kesiapan untuk menghabiskan lebih banyak waktu di tempat praktik dan satu hal yang terdengar sepele adalah tidak boleh takut dengan darah.
Lucunya, hal tersebut justru terjadi pada seorang dokter cantik berdarah Minang-Yogyakarta ini.
Sejak kecil Sabai memang bercita-cita menjadi seorang dokter. Namun ia mengaku tidak mau berurusan dengan darah lantaran pernah mengalami kejadian yang membuatnya trauma dan takut dengan darah hingga sekarang.
"Jadi waktu kecil kaki aku kena beling dan kaki aku berdarah ke mana-mana. Abis itu pas melihat, aku muntah langsung," katanya kepada Health-Liputan6.com, di sela jam praktiknya Rabu lalu, ditulis Jumat (7/10/2016).
Namun anehnya, wanita kelahiran 12 Januari 1984 di Darmstadt, Jerman ini tidak merasakan ketakutan atau rasa mual jika melihat darah di dalam mulut. Sementara jika ia melihat goresan luka berdarah pada tubuh, seketika tubuhnya akan lemas.
Sejak resmi lulus dari Kedokteran Gigi Universitas Prof. Dr Moestopo, pada 2010 lalu, Sabai langsung meniti kariernya dengan bergabung di Beyoutiful Aesthetic Clinic milik penyanyi kondang sekaligus musisi Tompi.
Selama dua tahun bergabung di sana, Sabai tidak langsung menangani pasien seperti saat ini. Ia justru diberi kepercayaan untuk bekerja sekaligus belajar sebagai Operational Manager & Dentist.
"Kebetulan pas di dokter Tompi itu aku diajak sama dosen aku. Nah, di sana aku lebih belajar me-manage klinik dan aku melihat sekaligus belajar dari dosen aku gimana menangani pasien," katanya.
Meneladani kehidupan selama baksos
Jalan-jalan atau traveling sudah menjadi hobi yang mendarah-daging bagi Sabai. Namun gaya jalan-jalan Sabai tergolong berbeda dengan gaya jalan-jalan wanita sebayanya.
"Aku paling senang traveling tuh ke pedalaman, cari tempat-tempat yang aneh deh dan biasanya sekalian bakti sosial (Baksos)," ungkapnya.
Selama setahun setidaknya sebanyak empat kali Sabai menghabiskan waktu untuk traveling di dalam maupun luar negeri. Dari banyaknya kota yang ia datangi, Mentawai, Sumatera Barat menyimpan kenangan dan pengalaman berharga bagi Sabai.
"Waktu itu yayasan Green Music Foundation lagi cari dokter dalam rangka pemberian pengobatan gratis pasca-tsunami. Iseng-iseng deh tuh aku daftarkan diri, eh akhirnya dipanggil," tutur Sabai.
Sebelumnya, Sabai sempat dilarang oleh kedua orangtua lantaran kepergian Sabai ke Mentawai persis sebulan pasca-tsunami Mentawai. Selain itu perjalanan ke Mentawai yang harus menempuh 16 jam dengan kapal, dan jadwal kapal ke Mentawai yang tidak banyak.
"Selain karena pasca-tsunami, untuk keluar dari Mentawai itu cuma setiap hari Rabu karena kapalnya cuma ada seminggu sekali," katanya.
Tetapi larangan kedua orangtua sama sekali tidak memundurkan keinginan Sabai untuk bergabung di acara tersebut.
Selama duduk di bangku kuliah, Sabai memang sudah biasa berkunjung ke pedalaman Indonesia. Bersama tim Moestopo Jelajah Nusantara dan ia sudah berhasil mengunjungi Flores, Gorontalo, juga Kepulauan Riau.
Menurut dokter cantik ini rasa puas, bangga, dan senang selalu menghampirinya tiap kali mengikuti acara sosial.
"Walaupun aku dokter gigi, pas di sana pengobatan yang aku kasih lumayan bermanfaat dan aku kan bisa membantu di potensi atau menjadi apotek gitu," terangnya.
Selama di Mentawai Sabai menyaksikan kesulitan yang dihadapi oleh penduduk setempat, seperti akses jalan yang kurang dan mengandalkan ambu-ambu (transportasi jenis kapal).
"Di sana kemana-mana jauh, dokter juga enggak ada, jadi kalau ada yang sakit parah ya harus 16 jam. Pas juga pada saat itu anak-anak kecil di sana lagi kena campak. Untungnya teman aku berusaha mengumpulkan vaksin di Jakarta dan dibawa langsung ke Mentawai," ceritanya.
Menurut Sabai, selalu ada cerita menarik di balik perjalanannya saat mengunjungi wilayah-wilayah di pedalaman Indonesia.
"Kalau ke pedalaman itu pasti ada sesuatu yang baru, kayak kebiasaan orang, atau hal-hal kehidupan yang berharga."
Advertisement
Rangkul anak saat baksos
Ternyata bukan hanya Mentawai yang memberikan kesan dan pengalaman berharga untuk Sabai. Sebelum bencana Mentawai, Sabai pernah bergabung dengan Aksi Cepat Tanggap (ACT) saat bencana Merapi Yogyakarta, pada 2010 lalu.
"Waktu letusan susulan yang besar aku pas lagi ikut yayasan itu, ikut membangun daerah dan memberikan pengobatan gratis. Tapi pas meletus yang gede itu kita lagi di bawah, lagi mau balik ke atas, eh (enggak) tahunya (ada) letusan susulan," ingatnya.
Karena tak bisa balik ke daerah letusan, Sabai akhirnya langsung mendatangi stadion utama Yogyakarta dan membantu korban yang dilarikan ke sana.
"Aku menyaksikan kacaunya orang-orang yang saling cari keluarga ya. Dan saat itu aku berusaha ngasih penenangan dan lebih ke anak-anaknya aja aku hibur mereka. Pokoknya apa yang bisa aku kerjakan ya aku kerjakan," jelasnya.
Selain merangkul para anak di lokasi bencana alam, Sabai juga sering kali berkunjung ke wilayah pinggiran Jakarta yang masih terabaikan kondisinya.
"Jadi aku punya teman-teman satu profesi yang punya hobi sama, jadi kita biasanya bawa kayak sikat gigi dan odol gratis dan kita kasih penyuluhan bagaimana cara sikat gigi yang baik dan benar," katanya.
Beberapa waktu lalu, Sabai sempat mengunjungi sebuah desa di Tangerang, Banten, bersama yayasan Seribu Guru ke salah satu Sekolah Dasar (SD) yang kurang mendapat perhatian. Meski wilayahnya masih dekat dengan Ibukota, namun keadaan sekolah ini sangat menyedihkan bagi Sabai.
"Keadaan sekolahnya buruk banget sih. Tempat duduk dan lantainya cuma dari semen, enggak terurus gitu dan cuman ada dua baris. Plus cuma dua kelas. Sedangkan di samping situ ada rumah kepala desa yang baru dibangun bagus," keluhnya.
Mencari ketenangan
Biasanya yang dicari para wanita saat liburan tak jauh dari belanja dan wisata kuliner, tapi berbeda dengan dokter cantik ini yang memilih ke pantai dan berleyeh-leyeh.
"Kalau shopping aku enggak gitu suka. Aku lebih suka yang leyeh-leyeh gitu yang enggak ngapa-ngapain kayak ke pantai dan ya tidur-tiduran," jawabnya sambil tertawa.
Selain ke pantai, biasanya Sabai memilih untuk mengunjungi sanak-saudara yang berada di negeri kincir angin.
"Kalau enggak ke pantai, aku pilih balik ke Belanda karena masih ada keluarga dari mama di sana. Ya paling kalau balik ke sana yang paling menyenangkan adalah kebersihannya. Udaranya lebih fresh, teratur enggak kayak di Jakarta kan macet. Ya lebih tenang aja di sana," ungkap Sabai.
Dua tahun lalu Sabai terakhir kali pergi ke Belanda dan sengaja mampir ke kota nan romantis yang berjarak kurang lebih lima jam dari Belanda.
"Terakhir kali ke Belanda aku sempat ke Paris, kalau orang bilang Paris i'm in love ya aku merasakan itu juga sih," kata dokter cantik ini.
Biodata
Nama : Sabai Asmaraghrya
TTL : Darmstadt, 12 Januari 1984
Jenis kelamin : Wanita
Agama : Islam
Status : Belum menikah
Riwayat pendidikan
Bijenburg Basis School Belanda (1990 - 1996)
SMP Ora et Labora (1996 - 1999)
SMAN 6 Jakarta (1999 - 2002)
Universitas Prof Dr Moestopo Fakultas Kedokteran Gigi (2002 - 2009)
Riwayat pekerjaan
Beyoutiful Aesthetic Clinic Operational Manager & Dentist (2011-2012)
identalcare, Founder & Dentist (2012 - sekarang)
Advertisement