Ilmuwan Perempuan 'Langka' di Indonesia, Apa Penyebabnya?

Ilmuwan di Indonesia masih didominasi oleh kaum laki-laki, di mana peneliti perempuan baru mencapai 30 persen.

oleh Citra Dewi diperbarui 07 Okt 2016, 07:30 WIB
Ilustrasi penelitian (Reuters)

Liputan6.com, Jakarta - Jika berbicara soal sains dan penelitian, mungkin sebagian besar orang menganggap keduanya sebagai hal yang rumit, eksklusif, membutuhkan dedikasi tinggi, dan berbiaya mahal. Tak mengherankan data LIPI menunjukkan bahwa jumlah peneliti di Indonesia saat ini hanya 90 per satu juta penduduk.

Dibandingkan dengan negara lain, angka tersebut masih jauh tertinggal. India yang dianggap sebagai negara sepadan telah memiliki rasio peneliti 140 per 1 juta penduduk, sedangkan di negara maju seperti Amerika Serikat, terdapat 5.000 per 1 juta penduduk.

Berdasarkan data dari UNESCO, kesenjangan gender di dunia sains juga masih cukup tinggi. Di Indonesia sendiri, jumlah peneliti perempuan baru mencapai 30 persen, sedangkan sisanya didominasi oleh laki-laki.

Mungkin hal tersebut telah menjadi masalah klasik di dunia penelitian, di mana banyak anggapan bahwa sains bukanlah dunia yang ramah bagi perempuan.

Lalu, apa hal terbesar yang menghalangi perempuan untuk berkiprah di bidang sains? Setelah tahu permasalahannya, apa solusi yang bisa dilakukan untuk meningkatkan jumlah ilmuwan perempuan?

Sebagai upaya meningkatkan peranan perempuan dalam sains sekaligus melakukan kampanye global #ChangeTheNumbers, L’Oréal Indonesia mengadakan media roundtable pada Kamis (6/10/2016), yang turut menghadirkan dua orang peneliti senior perempuan.

Dalam kesempatan itu, salah satu narasumber yang merupakan Associate Professor Biologi Molekuler di Institut Teknologi Bandung (ITB) Dr Fenny M Dwivany mengatakan, peranan perempuan di dunia sains sebenarnya sangat dibutuhkan karena mereka memiliki sifat yang lebih tekun.

"Perempuan biasanya lebih detail dan tekun, multitasking, tough, serta lebih luwes. Luwes dalam artian mahir dalam negosiasi agar penelitian kita bisa mendapat funding," ujar Fenny yang juga meraih penghargaan UNESCO-L’Oréal Internasional's Fellowship For Women in Science (FWIS) pada 2007.


Rintangan yang Harus Dihadapi Perempuan

Sejumlah permasalahan dan hambatan yang membuat jumlah ilmuwan perempuan di bidang sains masih tergolong rendah turut dibahas dalam acara yang dilaksanakan di kantor L’Oréal Indonesia tersebut.

Menurut CEO Lipotek Australia sekaligus peraih penghargaan UNESCO-L’Oréal Internasional's Fellowship For Women in Science pada 2004, Dr Ines Atmosukarto, permasalahan terberat yang harus dihadapi perempuan adalah minimnya pengertian dan dukungan dari keluarga, orang sekitar, dan masyarakat.

Ia menambahkan, sebagian besar orang masih menganggap bahwa perempuan yang sukses meraih posisi puncak sebagai ilmuwan sering diidentikkan dengan ketidakberhasilan di dalam rumah tangganya.

(Dari kiri ke kanan) Dr Ines Atmosukarto, Melanie Masriel, Dr Fenny M Dwivany dalam acara media roundtable yang diadakan oleh L’Oréal Indonesia (Liputan6.com/Citra Dewi)

"Wanita harus mengimbangi segala kepentingan keluarga. Kadang ada timbul perasaan bersalah yang datang dari diri sendiri atau masyarakat," ujar Ines yang meraih gelar doktornya di bidang Biokimia dan Biologi Molekuler dari Adelaide University.

Selain, itu kurangnya pendanaan dan ekspose juga membuat peneliti-peneliti muda yang sebenarnya memiliki passion di bidang sains merasa minder dan membuat mereka mengurungkan niatnya untuk melangkah lebih maju.

Hal tersebut disampaikan oleh Mega Watty, mahasiswi Fakultas Farmasi Universitas Indonesia yang meraih beasiswa pendidikan L’Oréal Sorority in Science 2016.

"Sebenarnya banyak teman-teman yang memiliki passion dan lebih hebat dari saya, tapi kurangnya ekspose dan pendanaan membuat mereka yang memiliki passion tapi kurang mampu secara dana menjadi minder dan mundur," ujar Mega.


Meningkatkan Jumlah Ilmuwan Perempuan

Minat orang Indonesia untuk berprofesi sebagai ilmuwan memang masih tergolong kecil. Menanggapi hal tersebut, Fenny mengungkapkan perlu adanya perbaikan reward kepada peneliti sehingga lebih banyak orang yang tertarik untuk menekuni bidang sains.

Perempuan yang meraih gelar doktor di bidang Genetika dan Biologi Molekuler dari University of Melbourne itu menambahkan, ilmuwan juga harus gaul dan pandai membangun jaringan. Hal tersebut penting dilakukan agar para peneliti lebih mudah mendapatkan pendanaan dan mengembangkan proyek penelitiannya dengan melihat dari berbagai sudut pandang.

Dengan diberikannya penghargaan L’Oréal FWIS, Fenny mengaku bisa membangun jaringan dengan orang-orang dari berbagai bidang ilmu yang berdampak positif untuk mengembangkan proyek yang sedang ditekuninya.

L’Oréal Indonesia mengadakan media roundtable yang menghadirkan dua ilmuwan perempuan senior penerima penghargaan UNESCO-L’Oréal Internasional's Fellowship For Women in Science (Liputan6.com/Citra Dewi)

Selain mengembangkan jaringan untuk mempermudah mendapatkan pendanaan dan pengembangan, salah satu kunci yang bisa membuat perempuan lebih bebas membangun karirnya sebagai peneliti adalah dukungan keluarga.

"Semua itu tergantung support system kita," ujar Fenny.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Ines. Menurutnya, satu-satunya cara untuk mematahkan persepsi bahwa dunia penelitian dan membangun keluarga tak dapat berjalan beriringan adalah dengan dukungan keluarga yang besar.

Ines menambahkan bahwa dengan menjadi peneliti, ia bisa membuat anaknya menjadi lebih memiliki rasa ingin tahu dan kreatif. "Saya selalu menanamkan ke anak saya bahwa jangan mudah percaya dengan orang lain dan harus mencari tahu kebenaran di balik itu," tutur dia.

Di akhir acara media roundtable, Head of Communication PT L’Oréal Indonesia, Melanie Masriel, mengajak seluruh masyarakat untuk mendukung kampanye global #ChangeTheNumbers dengan mendaftarkan diri di www.Fwis.fr untuk menyebarkan kampanye dan membantu mengubah jumlah ilmuwan perempuan saat ini.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya