Liputan6.com, London - Malala Yousafzai baru berusia kurang dari 15 tahun, saat para pria bersenjata sekonyong-konyong melompat masuk ke bus sekolah yang ia naiki, meneriakkan namanya, dan menyarangkan peluru tajam di kepalanya, 9 Oktober 2012 lalu.
Sebelia itu, ia sudah dianggap ancaman karena menentang militan Taliban yang melarang perempuan mengenyam pendidikan.
Dunia pun mengutuk keras serangan yang terjadi di Swat Valley, barat laut Pakistan. Untung nyawa Malala selamat.
Ia yang dalam kondisi kritis dilarikan ke rumah sakit untuk menjalani perawatan intensif di ruang ICU. Empat minggu berlalu, namun Malala belum sadar. Hampir tiga bulan kemudian, Malala akhirnya bisa pulang dan dirawat di rumah, meski kondisinya masih belum stabil.
Gadis kelahiran 12 Juli 1997 itu kemudian dibawa ke Birmingham, Inggris untuk menjalani perawatan intensif, terutama pada bagian tulang.
Kebetulan, sang ayah yang berprofesi sebagai diplomat saat itu sedang bertugas di Britania Raya.
Keajaiban datang, Malala pada akhirnya sembuh dan bisa melanjutkan sekolah kembali.
Peluru ternyata tak menghentikan langkah gadis itu untuk terus mengkampanyekan pentingnya pendidikan untuk anak perempuan.
Kepada dunia, ia berseru bahwa semua orang berhak mengenyam pendidikan, baik laki-laki maupun perempuan.
Advertisement
PBB kemudian menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Malala, sebagai simbol perjuangan untuk mendukung pendidikan untuk anak perempuan.
Malala sebelumnya beberapa kali menjadi target penembakan Taliban karena menentang keras sikap militan yang melarang pendidikan untuk kaum hawa. Sejak usia 11 tahun, Malala aktif mengajak perempuan terdekat untuk terus semangat bersekolah.
Pada awal tahun 2009, saat berumur sekitar 11 dan 12, Yousafzai menulis di blognya dengan nama samaran, menceritakan secara detil tentang betapa mengerikannya hidup di bawah pemerintahan Taliban.
Kata dia, Taliban kerap melakukan sweeping, atau pemeriksaan ke setiap rumah, untuk merampas buku-buku sekolah yang dimiliki kaum perempuan.
Malala kerap lolos dari pemeriksaan, dan menyimpan bukunya di bawah kasur. "Saya takut sekali ditangkap apalagi dipenggal mereka," ungkap Malala, beberapa bulan setelah sembuh dari luka tembak.
Dear Malala
Merespons kecaman dunia, Pimpinan Taliban, Adnan Rasheed, mengirimi Malala surat yang menjelaskan bahwa alasan penembakan terhadap dirinya adalah karena Malala dianggap kerap mengkritik kebijakan kelompok militan, bukan karena ia seorang penggiat pendidikan perempuan.
Rasheed mengungkapkan penyesalannya atas kejadian ini namun tidak meminta maaf atas penembakan yang dialami Malala Yousafzai. Ia juga menyarankan Malala kembali ke Pakistan dan meneruskan pendidikan di madrasah bagi perempuan.
"Kau telah mengatakan dalam pidatomu ... bahwa pena lebih tajam dari pedang. Jadi mereka menyerang "pedangmu", bukan buku atau sekolah," kata dia.
Sementara itu, kelompok yang terdiri atas 50 ulama di Pakistan mengeluarkan fatwa menentang penembakan keji itu.
Pada bulan Oktober 2014, Malala bersama Kailash Satyarthi mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian atas perjuangan mereka melawan penindasan anak-anak dan pemuda serta untuk mendapatkan hak pendidikan bagi mereka.
Malala menjadi penerima hadiah Nobel termuda, karena dia mendapatkan hadiah bergengsi itu pada usia 17 tahun.
Tak hanya penembakan Malala, peristiwa penting dalam sejarah yang terjadi pada 9 Oktober.
Pada 1967, Che Guevara dieksekusi mati. Sementara, pada 1446, alfabet Hanggul diciptakan di Korea.
Advertisement