Liputan6.com, New Delhi - Mahkamah Agung India telah mengabulkan perceraian yang diajukan oleh seorang pria setelah istrinya menolak berbagi rumah dengan mertuanya, secara efektif hal tersebut memutuskan bahwa wanita yang sudah menikah harus hidup dengan keluarga suaminya.
Salah satu hakim paling senior di India, Anil R Dave, mengatakan bahwa keinginan istri untuk meninggalkan rumah mertuanya terinspirasi dari pikiran ala Barat dan melanggar nilai-nilai tradisional Hindu India.
"Dalam keadaan normal, istri diharapkan tinggal bersama keluarga suami setelah menikah," ujar putusan Mahkamah Agung.
Baca Juga
Advertisement
Hakim mengatakan, pengakuan istri yang mengklaim bahwa suaminya berselingkuh adalah keterangan palsu, dan bahwa percobaan bunuh dirinya merupakan upaya licik untuk memanipulasi keluarga suaminya.
Putusan menyebut, usaha bunuh diri sudah menjadi alasan untuk mengakhiri pernikahan. "Menurut pendapat kami, hal ini telah cukup bagi suami untuk mendapatkan keputusan cerai atas dasar kekejaman."
Para aktivis mengatakan, putusan itu membuat jutaan perempuan yang tak bahagia dalam pernikahannya atau memiliki suami yang kasar menjadi lebih rentan.
"Jika Anda melihat bahasa yang digunakan pengadilan, itu sangat regresif," ujar pengacara kolektif dari Women’s Rights Initiative, Tenzing Chusang.
"Jika Anda membuat alasan perceraian yang sangat ringan untuk pria, itu membuat wanita sangat rentan," imbuhnya.
Dikutip dari The Guardian, Minggu (9/10/2016), perceraian di India membawa stigma besar, di mana hanya terdapat sedikit ketentuan keuangan dan dukungan hukum yang kecil bagi perempuan bercerai.
"Di India tidak ada hal seperti pembagian harta atau aset yang setara. Apa yang didapat seorang perempuan jika suaminya menceraikannya adalah pembayaran biaya hidup minimal dan itu didapatkan setelah bertahun-tahun menjalani proses pengadilan. Apa yang bisa dia lakukan? Dia harus tinggal," ujar Chusang.
Istri di India 'Dipaksa' Tinggal dengan Mertua
Di India, perempuan yang telah menikah diharapkan dapat pindah ke rumah kerabat suami, mengikuti aturan dan kebiasaan mereka, dan idealnya dapat berbaur sebagai anggota keluarga baru.
Namun dalam kenyataannya, pernikahan paksa membuat banyak wanita muda menikah dengan kehidupan yang nyaris seperti perbudakan, di mana mereka bertanggung jawab untuk seluruh pekerjaan rumah tangga dan diharapkan dapat menaati setiap permintaan mertua.
Seringkali, mereka dilarang bekerja untuk menghasilkan uang, dan hanya memiliki sedikit kontrol atas keuangan keluarga. Di daerah pedesaan, banyak perempuan dilarang mengenakan pakaian modern, bertemu dengan teman saat hari telah gelap, atau meninggalkan rumah.
Beberapa wanita berusaha menentang pembatasan tersebut, seperti yang dilakukan istri dalam kasus tersebut. Namun hakim memutuskan bahwa sudah kewajiban umat Hindu untuk merawat orangtua dan mendahulukan keinginan mereka.
Tak ada kewajiban hukum bagi laki-laki untuk hidup dengan orangtua mereka, sehingga masih memungkinkan pasangan untuk hidup mandiri jika sang pria memilih mendirikan sebuah rumah terpisah. Meski begitu, hal tersebut dinilai masih sulit dilakukan.
"Ini bukan praktek umum atau budaya yang diinginkan untuk pria Hindu di mana ia berpisah dari orangtuanya setelah menikah, terutama ketika ia adalah satu-satunya anggota produktif dalam keluarga," ujar putusan itu.
Hal itu menjadi pukulan baru bagi hak-hak perempuan di India, di mana kekerasan seksual dan perdagangan manusia menjadi hal umum, perkosaan dalam pernikahan bukan merupakan tindak pidana, dan diskriminasi merupakan hal endemik.
Dalam jajak pendapat dari pakar gender di seluruh dunia pada 2012, India merupakan negara G20 terburuk untuk perempuan. Peringkat tersebut berada di bawah Arab Saudi, di mana wanita tak boleh menyetir dan baru dapat memberikan hak pilihnya pada 2015.
Putusan tersebut juga berisiko meningkatkan rasio jenis kelamin yang tidak seimbang, di mana orangtua lebih suka memiliki anak laki-laki yang dinilai dapat menghidupi mereka pada usia senja.
Berdasarkan sensus 2011, perbandingan laki-laki dengan perempuan adalah 1.000 banding 918. Aborsi selektif diyakini mempengaruhi kesenjangan tersebut.
"Pengadilan menekankan bahwa merupakan tugas anak laki-laki untuk merawat orangtuanya," ujar Chusang.
"Jadi pada dasarnya keputusan itu mengatakan, anak perempuan bukan benar-benar bagian dari keluarga. Dia akan pergi dan tak akan merawat orangtuanya di usia senja, dan karena itu ia tak memiliki nilai," imbuh dia.
Advertisement