Liputan6.com, Washington DC - Sebuah studi baru dari Bank Dunia yang didasarkan bocornya dokumen internal ISIS mengungkap, kelompok teror tersebut lebih mungkin merekrut militannya dari orang-orang terdidik.
Studi sosial ekonomi yang bertujuan untuk memahami faktor penarik dari cap ekstremisme ISIS menemukan fakta mengejutkan. Lebih dari seperempat anggota baru memiliki tingkat pendidikan universitas, dan hanya 15 persen dari 3.803 studi kasus belum tamat sekolah menengah.
Advertisement
Sementara itu anggota kelompok militan yang buta huruf hanya sebesar 2 persen. Hal tersebut membantah teori bahwa kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan berkaitan erat dengan radikalisasi.
Dari data tersebut juga ditemukan, rata-rata anggota baru ISIS merupakan pemuda, lajang, dan memiliki akses rendah terhadap sumber daya atau pekerjaan yang dapat digunakan untuk memulai sebuah keluarga, dan hanya memahami sedikit pemahaman tentang Islam, bahkan jika mereka berpendidikan.
Calon pelaku bom bunuh diri sebagian besar merupakan mereka yang tak memiliki pekerjaan atau punya pengalaman militer.
Data yang membeberkan informasi 4.000 militan ISIS dari Eropa serta Timur Tengah itu berasal dari tahun 2013-2014, dan dibocorkan oleh mantan anggota kelompok radikal tersebut setelah ia membelot pada Maret 2016.
Seperti dikutip dari Independent, Senin (10/10/2016), data tersebut diduga merupakan sepuluh persen dari informasi total pejuang ISIS.
Data tersebut menunjukkan daftar kebangsaan mereka, pendidikan, usia, pekerjaan sebelumnya dan peran yang mereka pertimbangkan saat bergabung dengan ISIS. Rata-rata umur militan adalah 27 tahun, dengan yang termuda berasal dari Libya (23) dan tertua dari Indonesia (33).
Awal tahun ini, New America Foundation, menggali data yang sama untuk menemukan apa faktor dari daerah asal yang mendorong orang asing untuk bergabung dengan kelompok militan.
Derna di Libya, di mana orang yang berminat bergabung dengan ISIS sangat kuat, merupakan daerah sangat miskin dengan sejarah perlawanan panjang.
Sementara itu para militan juga datang dari Quassim, sebuah jantung Wahabi di Arab Saudi, di mana penduduknya berpendidikan tinggi dan relatif kaya.
ISIS telah menghadapi serangkaian kekalahan militer di wilayahnya tahun ini. Penulis Nate Rosenblatt mengatakan, hal tersebut terjadi karena makin banyak militannya yang mencoba membelot.
"Belajar dari militan ISIS dan dari mana mereka berasal merupakan hal yang sangat penting untuk mengembangkan respon kebijakan efektif untuk konflik lokal, di mana ISIS secara efektif menghubungkannya dengan ideologi dan agenda merela," ujar Rosenblatt.