Mengapa Dimas Kanjeng 'Sukses'?

Kondisi sosial pendukung Dimas Kanjeng sudah berkembang sejak 1970-an.

oleh Dhimas Prasaja diperbarui 11 Okt 2016, 14:00 WIB
Dalam foto kliping berita tertanggal 24 Februari, Dahlan Iskan terlihat menyematkan jas ke Taat Pribadi.

Liputan6.com, Surabaya - Padepokan Dimas Kanjeng di Dusun Cangkelek, Desa Wangkal, Kecamatan Gading, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, mendadak terkenal belakangan ini. Pemimpin padepokan, Dimas Kanjeng Taat Pribadi, terjerat kasus dugaan pembunuhan dan penipuan bermodus penggandaan uang.

Kasus terakhir ini yang lebih menarik perhatian khalayak luas. Pengikutnya yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia meyakini sang guru bisa menggandakan uang. Tayangan dokumentasi berikut cerita-cerita mitosnya menambah keyakinan itu.

Banyak juga warga dari berbagai daerah rela menyetor uang dengan harapan bisa digandakan berkali-kali lipat. Dalam praktiknya, banyak kasus yang menunjukkan uang tidak tergandakan, justru utang yang mencekik.

Mengapa orang-orang itu percaya?

Suko Widodo, pakar komunikasi sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik  Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengatakan, budaya hedon dan enggan bekerja keras menjadi faktor utama penyebab terhadap orang yang mudah tergiur dengan iming-iming tak masuk akal.

"Sebagian orang berpikir untuk meraih kekayaan dengan cara yang instan, dan hasilnya bisa digunakan untuk menopang gaya hidup yang lebih tingggi," kata dia kepada Liputan6.com di Surabaya belum lama ini.

Terkait kultur ini, ada peran media juga dalam pengembangannya. "Biasanya ajakan hedonis ini disampaikan melalui aktor yang berperan sebagai orang yang kaya tapi tanpa menjelaskan proses yang jelas untuk menjadi kaya," kata Suko.

Tayangan di televisi misalnya, sejumlah sinetron maupun iklan secara tidak langsung mempromosikan gaya hidup hedonis. Iklan produk menampilkan hal-hal yang serba instan.

"Apa yang disampaikan melalui media massa itu berpotensi masuk ke alam bawah sadar manusia dan memengaruhi karakternya," ucap Suko.

Di ranah pendidikan, menurut dia, para mahasiswa yang suka copy paste saat membuat tugas kuliah, termasuk golongan orang-orang yang malas seperti ini. Budaya instan itu akan semakin mudah masuk ke kehidupan manusia seiring kemajuan teknologi informasi.

Sementara itu, psikolog Bagus Ani Putra menilai kondisi masyarakat yang mengalami "materialistic value oriented" (MVO) atau menghargai materi secara berlebihan itu menyuburkan fenomena Dimas Kanjeng.

"Itu sebenarnya bukan fenomena baru, namun MVO itu terjadi sejak era industrialisasi atau sekitar tahun 1970-an," kata ahli psikologi sosial dari Universitas Airlangga itu, dilansir Antara.

Menurut dosen Fakultas Psikologi Unair itu, MVO menggerus nilai-nilai sosial bangsa Indonesia, seperti gotong royong, sukarela (tanpa pamrih), dan "gugur gunung" (kerja bakti bersama).

"Nilai-nilai itu sudah digantikan dengan materi sebagai ukuran, karena itu fenomena Dimas Kanjeng pun terjadi terus-menerus, meski tidak pernah ada yang terbukti, seperti uang logam Bung Karno, uang Brazil, peti Nyai Roro Kidul, dan semacamnya," kata Bagus.


Berantas Faktor Pendukung Dimas Kanjeng

Apalagi, kata dia , Dimas Kanjeng Taat Pribadi itu menggunakan "mahar" yang sesungguhnya aneh dibandingkan dengan fenomena yang sama sebelumnya.

"Anehnya lagi, belum pernah ada bukti dan memakai 'mahar' itu tetap saja membutakan masyarakat yang mengalami MVO itu," kata Bagus.

Ditanya solusi untuk keluar dari serangkaian kebodohan dengan fenomena MVO itu, Bagus menyatakan masyarakat seharusnya memberikan sanksi sosial, seperti dikucilkan.

"Bukan seperti sekarang yang justru dimaklumi, karena keberadaan Padepokan Dimas Kanjeng yang dimanfaatkan membuka kantin, lahan parkir, menjadi (oknum) petugas pengaman, dan sebagainya," kata dia.

Secara tidak sengaja, sikap berterima dari masyarakat itu justru menjadi legitimasi bagi Dimas Kanjeng, sehingga dia dapat memiliki tiga modal yakni informational power, media sosial, dan kredibilitas internal-eksternal.

"Modal informational power atau kekuatan informasi adalah informasi yang beredar dari pengikut kepada masyarakat, seperti dia memiliki kehebatan ini-itu, lalu media sosial juga mempromosikan, seperti Youtube," tutur Bagus.

Selain itu, ia juga memiliki kredibilitas internal, seperti jubah, celak, berwajah Arab, dan sebagainya. Sedangkan, kredibilitas eksternal yang dimiliki antara lain memajang foto bersama tokoh seperti Dahlan Iskan, Jokowi, dan sebagainya.

Oleh karena itu,  Bagus menyarankan pemerintah, tokoh agama, dan tokoh pendidikan untuk segera bersikap karena masyarakat yang menjadi korban semakin banyak dan Dimas Kanjeng juga melecehkan agama, seperti Shalawat Fulus dan Kun Fa Yaqun.

"Pendidikan juga harus berbenah, seperti pendidikan agama tidak hanya mengajarkan agama secara normatif, seperti salat, puasa, dan sejenisnya, melainkan agama hendaknya diajarkan secara moralitas, seperti akhlak yang 'rahmatan lil alamin'," kata dia.

Ia menambahkan pendidikan agama (akhlak) itu penting, karena pengaruh Dimas Kanjeng itu tidak hanya menimpa masyarakat menengah ke bawah, tapi juga masyarakat kelas atas dan intelektual.

"Kalau orang kaya terpengaruh itu berarti mengalami 'greedy phenomenon' atau fenomena keserakahan, sehingga terjadi 'loss of novelty' (hilang kenikmatan) dengan uang yang sudah banyak tapi ingin lebih banyak lagi," kata dia.

Sementara itu, kalau orang intelektual yang terpengaruh berarti mengalami 'mindlessness condition' atau logika yang turun, sehingga emosi yang naik.

"Emosi naik itu hukum alam atau sunnatullah, sehingga orang marah (negatif) dan orang bahagia (positif) akan menjadi tidak bisa logis," katanya.

Oleh karena itu, sikap logis melalui "sanksi sosial" (dikucilkan) dan pendidikan moralitas akan mengatasi fenomena Dimas Kanjeng Taat Pribadi dan fenomena serupa pada masa mendatang.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya