Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) datang langsung ke Kementerian Perhubungan saat Polri melakukan penangkapan terhadap pelaku pungutan liar (pungli). Hal ini mengundang berbagai respon dari publik, sebagian menganggap sikap Presiden berlebihan.
"Jangan disimpulkan, lebay (berlebihan) enggak lebay kan menurut siapa dulu. Harusnya diapresiasi. Perintah sekarang konsen terhadap itu sangat berkaitan dengan bersentuhan masyarakat kecil, pemohon pelayanan publik dan ini jumlahnya banyak, bukan satu aja," ujar Juru Bicara Presiden Johan Budi di Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (12/10/2016).
Advertisement
Johan memastikan, langkah hukum yang dilakukan Polri saat itu tidak didesain. Kebetulan, di saat yang sama Jokowi beserta kabinet Kerja sedang rapat terbatas soal reformasi hukum yang di dalamnya ada masalah pungli.
"Dan itu tidak didesain. Karena itu dalam ratas sempat mengemuka untuk dibentuk semacam satuan tugas, karena menurut presiden bahwa pungli ini meresahkan masyarakat," kata Johan.
Pungli yang sudah mengakar ini, menurut Johan sangat menghambat investasi yang tengah dikejar pemerintah. Untuk itu, pesan tersirat dari kedatangan Jokowi bukan soal operasi tangkap tangan, tapi keseriusan pemerintah dalam memberantas pungli.
"Jadi konteksnya adalah presiden datang, bukan OTT-nya, Presiden menunjukkan komitmen pemerintah yang sekarang itu serius, komit, jangan dibilang kecil ya," tutur Johan.
Pihak kepolisian dalam OTT pada Selasa 11 Oktober 2016 kemarin, mengamankan delapan buku rekening dengan nama yang berbeda-beda, dengan total saldo Rp 1 miliar di sebuah meja pegawai Kemenhub berinisial MS.
Kapolda Metro Jaya Irjen M. Iriawan mengatakan, diduga saldo Rp 1 miliar tersebut merupakan hasil dari pungli yang dilakukan para oknum di Kemenhub Dirjen Laut.
Tiga tersangka, menurut dia, akan dijerat dengan Pasal 5 ayat 1 huruf a dan b, Pasal 5 ayat 2 dan atau Pasal 11 dan atau Pasal 12 huruf a dan b, atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak pidana korupsi juncto 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
"Jadi ketiganya diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan wewenang. Dengan ancaman kurungan penjara minimal 3 tahun dan maksimal 20 tahun penjara," Iriawan memungkasi.