Liputan6.com, Jakarta Novel karya Dan Brown, bisa diibaratkan sebagai hidangan dari restoran yang sudah berkali-kali Anda santap. Bahan dan bumbunya sama, hanya mungkin suasana restorannya saja yang berbeda. Hal ini, terasa juga dalam film yang diadaptasi dari novel-novel ini.
Bandingkan saja The Da Vinci Code, Angels and Demons, dan yang terakhir Inferno, yang bakal ditayangkan pada bulan ini. Semua selalu diawali dengan pembukaan yang sama, yaitu soal kematian seseorang yang menjadi pemicu "petualangan" Robert Langdon (Tom Hanks).
Baca Juga
Advertisement
Bedanya, orang ini tak dibunuh seperti dalam dua cerita sebelumnya. Karakter bernama Bertrand Zobrist (Ben Foster) ini mati bunuh diri.
Persamaan nomor dua, Robert Langdon lantas menemukan dirinya di negara asing. Kali ini, ia berada di Firenze (Florence), Italia. Yang membedakan dari film-film sebelumnya, Robert Langdon ujug-ujug menemukan dirinya berada di kota ini. Ia terbangun di rumah sakit dengan luka tembak di kepala, dan sebagian memorinya hilang.
Robert Langdon dirawat oleh dokter muda bernama Sienna Brooks (Felicity Jones), yang dengan berani menyelamatkan Profesor Harvard ini kala seorang pembunuh misterius tiba-tiba muncul mengincar nyawa Langdon.
Sudah bisa ditebak, Sienna Brooks adalah wanita yang bakal menemani Robert Langdon di Inferno, menyusul jejak Vittoria Vetra dan Sophie Neveu di dua kisah pendahulunya. Cantik, pintar, pemberani, dan berambut cokelat gelap, entah mengapa Langdon selalu ditemani wanita tipe seperti ini dalam setiap petualangannya.
Lalu persamaan selanjutnya, tentu sudah bisa ditebak. Yakni Robert Langdon akan menjadi buruan banyak pihak, dan akan berlari-lari dari satu tempat bersejarah ke tempat bersejarah lain sambil memecahkan misteri yang berkaitan dengan peninggalan bersejarah masa lampau.
Kali ini, Robert Langdon berusaha memecahkan teka-teki peninggalan miliuner eksentrik Bertrand Zobrist sebelum meninggal. Zobrist, ternyata punya pandangan mengerikan soal cara mengatasi ledakan populasi manusia di bumi.
Menurut Zobrist, KB telah ketinggalan zaman. Terinspirasi dari Wabah Hitam (Black Pague) di abad ke-14, ia ingin menyebar virus yang mengurangi setengah populasi manusia. Zobrist menyembunyikan petunjuk soal virus berbahaya ini di balik sajak “Inferno” dari Divine Comedy karya penyair Dante Alighieri dan lukisan "Map of Hell" dari Boticelli.
Kesamaan elemen dalam Inferno dengan film-film sebelumnya, memang tak terelakkan. Alasannya tentu karena novel aslinya pun seperti ini. Untungnya, meski pola usang ini kembali dipakai, film besutan sutradara Ron Howard ini tak lantas jatuh jadi tontonan yang membosankan. Kekuatan utama film ini, adalah twist demi twist yang terurai sepanjang plot, yang mampu memaku penonton di kursinya.
Begitu juga dengan penggambaran halusinasi yang dialami Robert Langdon, terasa cukup mengerikan. Karakter bos pembunuh "The Provost" pun dimainkan dengan sangat apik oleh Irrfan Khan. Kemolekan tempat-tempat bersejarah seperti Palazzo Vecchio di Firenze dan Sophia Hagia di Istanbul, juga ditampilkan dengan sangat cantik—meski terasa seperti tempelan belaka. Setidaknya, hal-hal ini membuat Inferno masih menyenangkan untuk ditonton.
Inferno versi film sendiri memiliki sejumlah perbedaan mendasar dengan bukunya. Sejumlah plot, memang diubah di sana-sini. Namun yang paling penting, filmnya telah menggusur wacana mengenai masalah populasi dunia. Dalam buku—meski kadang terasa bertele-tele—Dan Brown mengajak penontonnya memikirkan soal hal ini, yang bahkan membuat tindakan Zobrist terasa masuk akal.
Sementara dalam film, wacana soal ledakan populasi dunia hanya diposisikan sebagai plot device, atau motif belaka bagi Bertrand Zobrist. Hasilnya, Inferno terasa seperti film generik tentang seorang pria yang berusaha menyelamatkan dunia. Mungkin, memang film seperti ini yang lebih disukai penonton film blockbuster Hollywood.
Jadi, dengan semua pertimbangan ini, masih perlukah Anda menonton Inferno? Silahkan Anda menjawabnya sendiri.