WNI di Swiss Kesulitan Ikut Tax Amnesty Karena Hal Ini

Dana repatriasi program pengampunan pajak yang berasal dari Swiss mencapai Rp 677,1 miliar hingga periode September 2016.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 13 Okt 2016, 21:06 WIB
Sejumlah orang saat mendatangi kantor pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Jumat (30/9). total Wajib Pajak yang sudah ikut tax amnesty ‎hingga saat ini mencapai lebih dari 300 ribu WP di seluruh Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Keinginan warga Indonesia mengikuti Program Pengampunan Pajak (tax amnesty) tak selalu berjalan mulus. Seperti diungkapkan Pengamat Perpajakan sekaligus Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Yustinus Prastowo.

Dia menuturkan, ada Warga Negara Indonesia (WNI) yang ingin mengalihkan dananya (repatriasi) dari Swiss ke Indonesia sebesar Rp 150 triliun. Sayangnya, WNI ini mengalami kendala dengan isu status Swiss sebagai negara rawan pencucian uang dari Financial Action Task Force (FATF).

"Kenapa belum ada dana repatriasi dari Swiss?. Padahal banyak orang Indonesia simpan dana di Swiss, terutama pejabat Orde Baru," ujar Yustinus saat Media Gathering Ditjen Pajak di Hotel Atria, Malang, Kamis (13/10/2016).

Menurutnya, minim dana repatriasi dari Swiss karena Indonesia masih terganjal isu status negara rawan pencucian uang oleh FATF. FATF merupakan satgas yang dibentuk untuk memerangi atau memberantas tindak pencucian uang, uang yang berasal dari terorisme, perdagangan manusia, serta praktik kejahatan lainnya.

"Jadi karena kita belum selesai dengan FATF, jadi uang dari Swiss masih dianggap uang kejahatan. Ini belum diputus, padahal kemarin oleh-oleh Sri Mulyani infonya sudah melobi FATF supaya ini bisa lolos," jelas dia.

Yustinus mencontohkan kisah nyata dari grup WNI yang diakui berniat merepatriasi dananya dari Swiss senilai Rp 150 triliun ke Indonesia. Namun mereka mengalami kesulitan, bahkan Bank Indonesia (BI) pun menolaknya.

"Ada informasi dari satu grup, mereka cerita sendiri ke saya mau repatriasi Rp 150 triliun dari Swiss, tapi kesulitan. BI pun tidak bisa menerima, sebab regulasi belum diubah. Padahal ini peluang dan aka sangat baik jika uang itu bisa masuk ke sini," dia melanjutkan.

Untuk diketahui, dana repatriasi program pengampunan pajak yang berasal dari Swiss mencapai Rp 677,1 miliar hingga periode September 2016. Tertinggi berasal dari Singapura dengan jumlah repatriasi Rp 6,27 triliun, sedangkan Australia mencapai Rp 124,72 miliar, Amerika Serikat Rp 86,24 miliar dan British Virgin Islands dengan repatriasi Rp 32,66 miliar.

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa Indonesia tidak masuk daftar hitam (black list) atau daftar abu-abu (greylist) Financial Action Task Force (FATF) sebagai negara rawan pencucian uang. Hal ini menyusul pelaksanaan program pengampunan pajak (tax amnesty) di Indonesia dan telah dijelaskan kepada Sri Mulyani kepada pimpinan FATF.

‎"Posisi Indonesia tidak di-black list atau grey list. Kita sudah di luar itu," ucap Sri Mulyani.

Sri Mulyani mengatakan Indonesia juga harus menjelaskan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tax Amnesty kepada dunia internasional, termasuk FATF bahwa program ini sama sekali bukan bertujuan untuk memfasilitasi uang-uang dari praktik kejahatan kriminal pencucian uang, perdagangan narkoba dan manusia, serta pendanaan terorisme.

"Indonesia di bawah ‎Menkopolhukam dan peraturan Menkeu, UU Tax Amnesty tidak dipakai untuk disalahgunakan bagi mereka lewat cara pencucian uang, drugs and human trafficking, terorism. Penjelasan sangat penting dalam rangka Indonesia ingin menjadi anggota FATF‎," ujar Sri Mulyani.

Dia mengatakan, pemerintah akan memperkuat koordinasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam pengawasan gateway (institusi penampung dana repatriasi tax amnesty) baik di perbankan, manajer investasi, perusahaan sekuritas.

"Kita perkuat aturan OJK karena semua gateway di bawah supervisi OJK. Serta perkuat koordinasi dengan aparat hukum di bawah Menkopolhukam," tegas dia.(Fik/Nrm)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya