AS Mengaku Punya Bukti Rusia Dalangi Pembocoran WikiLeaks

Tak lagi segan, AS secara terang-terangan menunjuk sebagai Rusia dalang di balik kebocoran email figur penting negeri itu.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 14 Okt 2016, 15:09 WIB
Ekspresi Presiden AS, Barack Obama dan Presiden Rusia, Vladimir Putin saat saling bertemu pada Sidang Umum PBB di New York, Senin (28/9/2015). (REUTERS/Kevin Lamarque)

Liputan6.com, Washington, DC - Sejumlah pejabat Amerika Serikat (AS) mengklaim memiliki bukti bahwa pemerintah Rusia memasok email yang telah mereka retas kepada WikiLeaks. Email tersebut berkaitan dengan pemilu presiden AS yang tengah berlangsung.

Beberapa hari lalu, WikiLeaks mempublikasikan email milik ketua kampanye Hillary Clinton, John Podesta. Dan kebocoran email itu pun masih terus berlanjut.

Salah seorang pejabat AS mengungkapkan, Moskow setidaknya berperan sebagai penyedia informasi atau bertanggung jawab langsung atas aksi peretasan email itu. Namun ia tak menjelaskan lebih lanjut bukti apa yang dimiliki pihaknya.

Para pejabat intelijen AS hingga saat ini masih menyelidiki hubungan Rusia-WikiLeaks. Namun di lain sisi, mereka tetap meyakini bahwa Negeri Beruang Merah dalang di balik kebocoran email tersebut.

"Jenis-jenis kebocoran yang kita lihat, termasuk yang dilakukan WikiLeaks, email-email yang dicuri dari figur penting dalam proses politik kita konsisten dengan upaya yang dilakukan Rusia," ujar Sekretaris Pers Gedung Putih, Josh Earnest.

Sementara itu, Podesta yang emailnya dipublikasikan oleh WikiLeaks juga menunjuk Rusia sebagai dalang dibalik peretasan itu.

"Sekarang jelas bahwa peretasan ilegal atas email pribadi saya sama seperti yang baru-baru ini terjadi merupakan kerjaan dari pemerintah Rusia. Campur tangan kekuatan asing hanya bertujuan untuk memenangkan Trump," tegasnya.

Sebelum menunjuk Rusia, Podesta lebih dulu menuding penasihat Donald Trump, Roger Stone mengetahui perihal peretasan emailnya. Namun Stone tegas membantahnya.

Julian Assange, pendiri WikiLeaks juga telah melontarkan bantahan terkait adanya hubungan atau kerjasama dengan Rusia.

Rusia: Biar Mereka Membuktikan

Pemerintah Rusia telah berulang kali menolak tuduhan terlibat dalam kebocoran email tokoh politik AS. Mereka juga menyangkal upaya untuk mempengaruhi pilpres melalui serangan siber.

Presiden Vladimir Putih bahkan menyebut tuduhan AS kepada Rusia sebagai 'histeria'. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov pun meradang dengan tuduhan tersebut.

"Biarkan mereka membuktikannya. Jika mereka memutuskan untuk mengambil langkah tertentu, biarkan mereka melakukannya. Namun mengatakan bahwa Rusia campur tangan pada urusan dalam negeri AS adalah hal konyol," kata Menlu Lavrov.

Meski bantahan demi bantahan terus dilontarkan, namun tuduhan keterlibatan Rusia dalam pilpres AS telah menjadi bola liar dalam arena pertarungan Hillary Clinton versus Donald Trump.

"Tak pernah ada dalam sejarah di mana musuh, kekuatan asing, bekerja untuk mempengaruhi hasil pemilu. Dan percayalah, mereka tidak melakukannya agar membuat saya terpilih melainkan untuk memenangkan Trump," kata Hillary.

Sementara Trump menampik keterkaitannya dengan Putin dan Rusia. Meski kecondongannya terhadap Negeri Beruang Merah itu tak dapat ia tutupi.

"Jika ada apapun yang tidak beres mereka menyalahkan Rusia. Mereka katakan, Donald Trump berteman dengan Putin. Saya bahkan tidak kenal Putin. Apa yang harus saya lakukan dengan Putin?," ujar Trump.

Jika diingat kembali, pada Juli lalu Trump sempat meminta Rusia membantunya memecahkan misteri terkait skandal email Hillary. Dan dalam beberapa kesempatan, miliarder itu mengumumkan kebijakan luar negeri yang menurut para analis akan menguntungkan Rusia.

Pada Maret lalu, Trump mempertimbangkan untuk membawa AS keluar dari NATO karena Pakta Pertahanan Atlantik Utara itu dianggapnya sudah ketinggalan zaman dan merugikan AS dari sisi pembiayaan. 

Hubungan AS-Rusia disebut tengah memasuki titik terendah. Kedua negara pemegang hak veto di DK PBB ini berseberangan dalam sejumlah isu, salah satu yang krusial saat ini adalah perang Suriah.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya