Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek Dikti) terus menyoroti pemilihan rektor di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN) yang disinyalir banyak terjadi pelanggaran.
Hal itu disampaikan Menristek Dikti Muhammad Nasir saat konferensi pers bertajuk "Penyelesaian Masalah Pada Proses Pemilihan Rektor di Perguruan Tinggi Negeri" di Kantor Kemenristek Dikti, Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat.
Advertisement
"Perlu saya sampaikan, pemilihan rektor untuk PTN berbadan hukum, PTN badan layanan umum, dan PTN politeknik dan akademik, ini mengikuti proses pemilihan sesuai dengan aturan yg telah ditetapkan Menristek Dikti, yaitu Nomor 1 Tahun 2016, dalam hal ini memperbaiki Permen Tahun 2007/2008," tutur Nasir, Jumat (14/10/2016).
Saat ini, sudah ada empat PTN yang sedang dalam proses perbaikan pemilihan rektor. Sebab, pihaknya menemukan sejumlah kejanggalan, baik dari mulai penjaringan, bahkan hingga tahap pemilihan.
"Berkembang isu permasalahan pemilihan rektor di Universitas Negeri Manado (Unima), Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Halu Oleo (UHO) dan Universitas Musamus Merauke (Unmus)," beber Nasir.
Tidak Menenuhi Syarat
Masing-masing PTN itu memiliki masalah berbeda dalam proses pemilihan rektor. Seperti di PTN Unima, Nasir menyebut kandidat yang sudah dilantik menjadi rektor ternyata dianggap tidak memenuhi syarat.
"Pada pemilihan dilakukan clearence, tapi malah tidak terjadi clearence. Malah ini melanggar UU Nomor 12 Tahun 2012. Kalau terjadi seperti itu, kami batalkan (pemilihannya)," terang dia.
Kandidat rektor semestinya tidak melakukan pembelajaran kelas jauh. Sementara, yang bersangkutan ternyata kedapatan terlibat dalam pembelajaran di Nabire, Papua. Untuk itu, Nasir pun mencabut kembali jabatan rektor dari kandidat terpilih itu.
Kemudian di PTN USU, permasalahan yang terjadi adalah Majelis Wali Amanat (WMA) yang dibentuk memiliki suara yang timpang. Satu anggota senat dari WMA memiliki delapan hingga sembilan suara.
"Seharusnya itu kan one man one vote (satu orang satu suara). Tapi justru malah one man eight atau nine vote. Ini kan jadi masalah. Akhirnya suara ngumpul pada seseorang sehingga terjadi problem," terang Nasir.
Untuk itu, maka dia pun mengulang proses pemilihan rektor di sana dan mengembalikan aturan suara senat sesuai prosedur.
"Nah ini sistem yang tidak lazim dilakukan. Akhirnya dirombak peraturan itu menjadi one man one vote," ujar dia.
"Jadi yang selama ini kita lakukan itu perbaikan, betul taat pada peraturan yang ditentukan, dan menghasilkan rektor yang berkualitas qualify-nya," pungkas Nasir.