Liputan6.com, Bangkok - Ribuan orang berpakaian dengan warna gelap berbaris di jalan-jalan Bangkok pada Jumat 14 Oktober 2016. Mereka konvoi mengiringi jenazah Raja Thailand Bhumibol Adulyadej menuju ke Grand Palace.
Kerumunan warga Thailand itu menangis dalam salah satu prosesi sebelum ritual pemakaman, sebagai bukti pengabdian dan cinta mereka untuk raja tercinta. Mereka yang tidak bisa mencapai kompleks istana di distrik bersejarah Bangkok menyaksikan acara haru itu melalui televisi.
Advertisement
Para biksu juga turut mengiringi peti mati, sepanjang jalan dari rumah sakit menuju istana.
Putra mahkota Maha Vajiralongkorn yang akan mengantikan takhta raja Thailand, kemudian memimpin pemandian mendiang, sesuai dengan ritual pemakaman tradisional Buddha.
Dilansir dari Daily Mail, Sabtu (15/10/2016), jenazah raja Thailand itu sekarang berada di Kuil Emerald Buddha, atau Wat Phra Kaew selama 100 hari. Di bangunan yang terletak dalam kompleks Grand Palace, orang-orang bisa memberikan penghormatan terakhirnya kepada Bhumibol Adulyaej.
Sejauh ini belum diketahui kapan tanggal kremasi Raja Bhumibol sesuai ritual Buddha.
Menurut tradisi, jenazah bangsawan Thailand umumnya ditempatkan dalam guci emas setelah dikremasi. Namun para pejabat istana mengatakan tradisi itu tidak lagi dilakukan, jenazah raja akan ditempatkan di peti mati dengan guci royal simbolik berada di dekatnya.
Masa berkabung ditetapkan selama setahun, bendera setengah tiang dikibarkan 30 hari penuh, orang-orang diminta untuk berpakaian warna gelap, acara 'sukacita' seperti penayangan film, konser, dan ajang olah raga dibatalkan atau ditunda.
Raja Thailand Bhumibol Adulyadej wafat pada Kamis, 13 Oktober 2016. Sang pemimpin monarki berpulang pada usia 88 tahun.
"Raja berpulang dalam damai pada pukul 15.52 di Rumah Sakit Siriraj di Bangkok," demikian pernyataan yang dikeluarkan pihak Kerajaan Thailand, seperti dikutip dari The Guardian, Kamis 13 Oktober.
Raja Bhumibol memimpin negerinya selama 70 tahun. Ia melewati masa-masa sulit Perang Dingin dan konflik dengan sejumlah negara tetangga, Laos, Vietnam, dan Kamboja.
Sang Raja juga memimpin rakyatnya melewati sejumlah pergolakan, termasuk kudeta militer pada Mei 2014 lalu -- yang ke-12 sejak berakhirnya monarki absolut pada 1932.