Liputan6.com, Jakarta Mendapat julukan sebagai "pria paling bahagia di dunia" tak berarti Yongey Mingyur Rinpoche (41) tak pernah mengalami kecemasan atau panik dalam hidupnya. Sebaliknya, pria yang lahir di sebuah desa di Nepal ini sudah merasakan tak enaknya serangan panik sejak usia sangat belia. Hal itu dituturkannya dalam sesi Media Talk di Tergar Meditation Center, Daan Mogot, Jakarta Barat, Kamis (13/10/2016) lalu.
"Ketika usia tujuh atau delapan tahun saya terkena serangan panik. Saya kemudian berusaha mencari cara untuk mengatasinya. Usia 9 tahun, saya berpikir bahwa ayah saya yang merupakan guru meditasi bisa mengajari saya cara mengatasi serangan panik itu," tutur bungsu dari tiga bersaudara.
Advertisement
Tetapi saat itu Mingyur Rinpoche cilik merasa sungkan untuk meminta sang ayah, guru meditasi terkenal Tulku Urgyen Rinpoche, untuk mengajarinya meditasi. Mingyur kecil merasa dirinya mungkin bodoh dan terlalu muda untuk belajar. Ia pun kemudian menemui sang ibu, mengutarakan niatnya untuk belajar pada sang ayah.
"Ibu saya mengatakan itu ide yang baik. Tapi sekali lagi saya merasa malu untuk meminta ayah mengajari meditasi. Namun rupanya ibu lalu menyampaikannya pada ayah. Suatu hari ayah mendatangi saya dan bertanya apakah saya ingin belajar meditasi. Setelah itu beliau mengajari saya teknik meditasi sederhana, cara mengatasi panik," tuturnya.
Jika umumnya orang mencari solusi dari luar diri untuk mengatasi segala permasalahan dan kecemasan dalam hidup, ayah Mingyur Rinpoche malah berpesan untuk menemukan ketenangan dari dalam diri dengan melatih pikiran. Pesan dari sang ayah rupanya menjadi benih kecintaan Mingyur Rinpoche pada meditasi dan membawanya pada jalan hidupnya kini.
Namun rupanya belajar meditasi tak semudah yang dibayangkan Mingyur cilik. Ia menyukai ide tentang meditasi untuk mengatasi serangan paniknya, tapi enggan berlatih dan menerapkan tekniknya.
"Ketika saya meditasi, saya merasa bosan. Contohnya ketika saya berpikir akan melakukan meditasi selama 20 menit, maka biasanya saya hanya melakukannya selama 5 menit," ceritanya.
Kondisi itu tentu saja membuat serangan panik yang dialaminya tidak benar-benar bisa diatasi. Serangan panik itu selalu datang kembali.
Retret tradisional selama tiga tahun di India
Retret tradisional selama tiga tahun di India
Usia 13 tahun, Mingyur Rinpoche memutuskan melakukan retret tradisional selama tiga tahun di India. "Pada waktu itu saya berpikir mungkin itu bisa mengatasi kemalasan saya," ujarnya.
Pada tahun pertama retret, serangan panik yang menghampiri Mingyur Rinpoche semakin parah karena kemalasan tetap menyertai. Panik dan kemalasan bukanlah kombinasi yang menyenangkan.
Beberapa bulan setelah menjalani retret tradisional dan diteror panik, Mingyur Rinpoche bertanya pada diri sendiri, apakah dia mau menghabiskan dua tahun sisa masa retretnya dengan tetap malas atau menghadapi serangan panik itu dengan disiplin berlatih meditasi.
Ketika sudah mulai rajin berlatih, Mingyur Rinpoche menyadari bahwa masalah utamanya adalah terlalu ingin mengenyahkan serangan panik yang kerap menghampiri. Semakin dia ingin mengusir serangan itu, semakin dia merasakan penolakan yang besar dari dalam diri.
Hingga suatu hari Mingyur Rinpoche mulai bisa menerima serangan panik tersebut dan berdamai dengan diri sendiri. Dia pun bisa menikmati sisa masa retret dua tahun yang menyenangkan. Tak hanya itu, murid meditasi yang semula pemalas kini malah dipercaya untuk menjadi guru termuda di Biara Sherab Ling. Dia bertanggung jawab membimbing para biksu dan biksuni yang berusia di atasnya berlatih meditasi.
"Saya benar-benar merasakan manfaat dari meditasi. Sekarang yang terpenting bagi saya adalah tetap bermeditasi dan ingin berbagi teknik ini dengan orang lain di seluruh dunia," ujarnya.
Advertisement
Retret mengembara, impian masa kecil
Retret mengembara, impian masa kecil
Yongey Mingyur Rinpoche menerima pentahbisan monastik lengkap pada usia 23. Seiring berjalannya waktu, tanggung jawabnya pun bertambah. Selain dipercayakan mengelola Biara Sherab Ling, Mingyur Rinpoche juga menjadi kepala biarawan dari Biara Tergar Osel Ling di Kathmandu, Nepal dan Biara Tergar Ligzin Khacho Tergye Ling di Bodhgaya, India.
Dia mendapat pengakuan internasional dari tulisan-tulisannya yang dibukukan dan mengajarkan teknik meditasi pada orang-orang di seluruh dunia. Buku pertamanya, The Joy of Living: Unlocking the Secret and Science of Happiness berhasil masuk dalam daftar buku terlaris versi New York Times dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 20 bahasa. Demikian juga dengan buku keduanya, Joyful Wisdom: Embracing Change and Finding Freedom.
Semua pencapaian itu tak membuat Mingyur Rinpoche berpuas diri. Dia ingin meningkatkan kemampuan meditasi dengan cara berbeda. Jauh di lubuk hati terdalamnya tersimpan impian semasa kecil: ingin melakukan retret mengembara, mengeksplorasi kehidupan.
"Sejak kecil saya selalu ingin melakukan retret. Saya dilahirkan di Nepal dan dekat desa saya dibesarkan ada banyak goa di pegunungan. Semasa kecil terkadang saya kabur dari rumah dan pergi ke goa-goa itu dan berpura-pura meditasi. Meskipun saya belum tahu apa itu meditasi. Jauh di dalam pikiran dan hati saya, saya ingin mengeksplor kehidupan, melakukan retret mengembara ke gunung," tuturnya.
Alih-alih berdiam di satu tempat, retret mengembara adalah melakukan meditasi dalam perjalanan tanpa rencana atau tempat tinggal tertentu dari satu tempat ke tempat berikutnya. Juga nyaris tanpa bekal uang atau pun hal-hal lain. Membebaskan diri dari segala kemelekatan.
Maka suatu malam di tahun 2011, Yongey Mingyur Rinpoche diam-diam meninggalkan biaranya di Bodhgaya, India, memulai retret pengembaraan. Ia menghindari segala bentuk bantuan dari orang-orang di sekelilingnya.
Malam itu Mingyur Rinpoche mendatangi sebuah stasiun kereta di India dan membeli tiket murah seharga kurang lebih satu dollar lima puluh sen. Tiket itu membawanya pergi sejauh lima ratus kilometer.
Tidur di jalanan dan terkena diare
Tidur di jalanan
Mingyur Rinpoche tak memiliki rencana apa pun setibanya di stasiun tujuan. Ia memutuskan tidur di jalanan area stasiun kereta tanpa alas. Mencoba mewujudkan fantasinya tentang retret mengembara di jalan.
Selama tiga hari Mingyur Rinpoche berkeliaran di sekitar stasiun itu, tak tahu harus melakukan apa. Ia pun mulai merasa malu karena menurutnya setiap orang mulai memperhatikan, termasuk polisi yang berjaga di sekitar stasiun.
Setelah membeli peta di toko buku kecil di area stasiun, Mingyur Rinpoche membeli tiket kereta ke tujuan berikutnya. Seolah sudah digariskan, ketika sedang menimbang-nimbang akan naik kereta atau tidak, tiba-tiba ia terdorong masuk oleh rombongan penumpang lainnya.
Untuk pertama kalinya ia merasakan berdesak-desakan di dalam kereta. Terjepit di tengah-tengah ratusan penumpang lainnya hingga tiba di Kushinagar, sebuah tempat yang disucikan di India. Mingyur Rinpoche menyewa sebuah penginapan murah di sana.
Setelah tiga minggu tinggal di penginapan, semua uangnya habis. Tinggal tersisa beberapa puluh sen saja. Alih-alih khawatir apalagi sedih, Mingyur Rinpoche malah melihatnya sebagai kesempatan mendapatkan pengalaman hidup di jalan.
Kali ini Mingyur Rinpoche benar-benar tinggal di jalanan, tanpa atap seperti di area stasiun kereta sebelumnya. Ketika malam, semuanya menjadi begitu gelap, tanpa pencahayaan. Anjing-anjing liar yang menjadi temannya di siang hari berubah menjadi musuh saat malam tiba.
Beruntung, kedai makan sederhana yang biasa dikunjunginya ketika masih punya uang membolehkannya mengambil makanan sisa secara cuma-cuma saat akan tutup di malam hari. Tapi rupanya sisa makanan itu tidak terlalu bersih sehingga Mingyur Rinpoche terkena muntaber selama tiga hari.
Advertisement
Nyaris menemui ajal
Nyaris menemui ajal
Pada hari keempat terserang diare, Mingyur Rinpoche mengira dirinya akan menemui ajal. Tak ada kekuatan dalam tubuhnya. Tak ada uang untuk membeli makanan sehat, apalagi obat. Dia hanya bisa meminum air dari pompa air umum di sana.
Itu pun bukan hal mudah untuk dilakukan. Jarak antara tuas pompa dengan pipa air cukup jauh sehingga ia harus bergegas menampung air agar usahanya tidak menjadi sia-sia. Tapi di hari keempat diare, sudah tak tersisa kekuatan untuk tubuhnya melakukan hal itu.
Sekitar pukul 14.00, Mingyur Rinpoche merasa dirinya akan mati. Dia menimbang apakah harus menyerah, kembali ke biara atau tetap bertahan melanjutkan retret pengembaraan. Hanya dengan sekali menelepon biara, nyawanya bisa selamat. Rasa cemas sempat menyelinap dalam benaknya. Namun akhirnya pilihan kedua yang diambil. "Belajar hingga napas terakhir," prinsip yang menjadi bahan bakarnya bertahan.
Pukul 01.00 dini hari, Mingyur Rinpoche merasakan tubuhnya tumbang, tak berdaya. Tak mampu melihat atau pun mendengar. Menghadapi hal itu, ia kemudian melakukan meditasi untuk mempersiapkan kematian (dying meditation). Perlahan pikirannya menjadi lebih jernih meski tubuhnya kemudian terasa lumpuh. Benaknya bebas, tak lagi mengenal konsep ruang dan waktu.
Ia bertahan dalam kondisi itu selama kurang lebih tujuh atau delapan jam hingga kemudian mendapat firasat bahwa belum saatnya untuk mati. Perasaan itu menjadi semakin kuat sampai akhirnya ia bisa kembali merasakan dan perlahan bisa menggerakkan tubuhnya.
Ia tak lagi merasa tidak nyaman berada di jalanan yang kotor, gelap, berdebu, dan banyak nyamuk. Sebaliknya, Mingyur Rinpoche mulai merasa seperti berada di rumah sendiri. Segala sesuatu dalam pandangannya tampak begitu indah. Pepohonan, dedaunan yang tertiup angin, orang-orang yang berada di jalan. Semuanya begitu menyenangkan dan ia merasakan syukur mendalam bisa tetap hidup dan masih bernapas.
Saking bahagianya, ia pun mencoba bangkit. Merasa haus, ia berjalan beberapa langkah menuju pompa air umum. Tapi selanjutnya ia merasa tubuhnya limbung dan segalanya menjadi gelap.
Ketika tersadar, Mingyur Rinpoche telah berada di sebuah bangsal rumah sakit bersama puluhan pasien lainnya yang tertidur. Seseorang telah berbaik hati membawanya ke rumah sakit, membayar tagihan, serta menyisipkan sejumlah uang untuk bekalnya.
Merasa sudah pulih dari diare, keesokan harinya Mingyur Rinpoche pun melanjutkan retret mengembaranya. Sebetulnya ia diminta untuk kontrol dalam beberapa hari, tapi ia tak melakukannya dan malah pergi ke India Utara, ke pegunungan Himalaya.
Meditasi di pegunungan Himalaya
Meditasi di pegunungan Himalaya
Ketika tersadar, Mingyur Rinpoche telah berada di sebuah bangsal rumah sakit bersama puluhan pasien lainnya yang tertidur. Seseorang telah berbaik hati membawanya ke rumah sakit, membayar tagihan, serta menyisipkan sejumlah uang untuk bekalnya.
Merasa sudah pulih dari diare, keesokan harinya Mingyur Rinpoche pun melanjutkan retret mengembaranya. Sebetulnya ia diminta untuk kontrol dalam beberapa hari, tapi ia tak melakukannya dan malah pergi ke India Utara, ke pegunungan Himalaya.
Penduduk di sekitar pegunungan selalu menyambut gembira orang-orang yang akan melakukan meditasi di atas Himalaya. Mereka dengan senang hati menawarkan bekal makanan dengan cuma-cuma.
Mingyur Rinpoche menghabiskan satu musim panas di pegunungan Himalaya. Ketika pegunungan menjadi terlalu dingin saat musim dingin tiba, ia pun turun dan berdiam di tempat-tempat suci di kaki Himalaya. Hal itu terus dilakukannya selama 4,5 tahun.
"Ada dua hal yang saya dapatkan dari retret mengembara itu. Pertama, pengalaman ini sangat bagus bagi meditasi saya. Meditasi adalah mengubah rintangan menjadi kesempatan, menemukan jalan keluar dari kesulitan, mengubah penderitaan menjadi kebahagiaan. Itu yang disebut dengan pembebasan diri (self liberation)," ujar Rinpoche.
Ia mengibaratkan perjalanan berlatih meditasinya itu sebagai nyala api kecil yang semakin lama semakin besar bila dilatih secara disiplin. Ketika bara api sudah semakin besar, apa pun yang masuk ke dalamnya akan terbakar. Demikian pula dengan kemampuan individu yang terbiasa bermeditasi dalam menghadapi segala permasalahan hidup.
Yongey Mingyur Rinpoche mengakhiri retret meditasi mengembaranya pada November 2015. Kepulangannya disambut gembira oleh para murid dan pengikutnya.
Keinginan terbesar Mingyur Rinpoche adalah berbagi praktik meditasi Joy of Living pada sebanyak mungkin orang. Tahun ini beliau menggelar workshop di beberapa negara, termasuk Indonesia. Bersama komunitas meditasi Tergar yang dibimbingnya sejak 2006 di Indonesia, Mingyur Rinpoche mengunjungi Surabaya dan Jakarta pada 12-16 Oktober lalu.
Advertisement