Liputan6.com, Washington, DC - 17 Oktober 1968, dua atlet berkulit hitam mengukir sejarah dalam bidang hak asasi manusia. Mereka, yakni Tommie Smith dan John Carlos, melakukan aksi 'silent protest' di Olimpiade Meksiko.
Aksi untuk memprotes diskriminasi atau rasisme yang dialami warga kulit hitam di Amerika Serikat (AS) itu mereka lakukan dengan berdiri diam. Smith dan Carlos yang masing-masing meraih medali emas dan perunggu untuk lari 200 meter itu berdiri diam di tengah arena olimpiade saat lagu kebangsaan AS didengungkan.
Advertisement
Sambil menunduk, Smith mengacungkan tangan kanan dan Carlos mengacungkan tangan kiri. Keduanya mengenakan sarung tangan hitam, syal hitam, kaus kaki hitam, dan 'nyeker' alias tanpa alas kaki. Perbuatan mereka ini mendapat perhatian dari peserta olimpiade dari berbagai negara. Mendunia.
Setelah meninggalkan podium kemenangan, Smith dan Carlos disoraki banyak penonton. Demikian seperti dimuat laman histori, BBC on This Day.
Dalam konferensi pers, Smith yang merupakan atlet lari yang telah memecahkan 7 kali rekor dunia, mengatakan, "Jika saya menang lomba, saya adalah warga Amerika, bukan warga Amerika berkulit hitam. Tapi jika saya melakukan perbuatan buruk, saya malah disebut negro. Saya seorang kulit hitam dan saya bangga menjadi orang hitam."
"Warga kulit hitam Amerika pasti akan sangat mengerti dengan aksi yang kami lakukan ini," imbuh dia.
Dijelaskan Smith, dirinya mengacungkan tangan kanan sebagai simbol kekuatan warga kulit hitam di AS. Sedangkan acungan tangan kiri Carlos sebagai simbol persatuan warga kulit hitam. Kedua pose diam tersebut merupakan gabungan dari kekuatan dan persatuan.
"Syal hitam melambangkan kebanggaan menjadi warga kulit hitam. Kaos kaki hitam dengan tanpa alas kaki, melambangkan kemiskinan dan rasisme di Amerika," ujar Smith.
Selain mendapat respons negatif dari penonton, Smith dan Carlos dikecam pihak penyelenggara olimpiade. Juru bicara panitia mengatakan, "ini merupakan pelanggaran yang disengaja dan melawan prinsip dasar semangat olimpiade." Kata dia, kedua atlet itu bakal didiskualifikasi dan direkomendasikan untuk kembali ke negaranya, AS.
Dua hari kemudian, Smith dan Carlos dipulangkan ke AS dan disambut oleh komunitas warga Amerika keturunan Afrika sebagai pahlawan, kendati warga lain menyebut keduanya sebagai 'pembuat masalah' bahkan sempat ada yang mengancam untuk membunuh mereka atas aksi 'silent protest' tersebut.
Namun hal berbeda terjadi 30 tahun kemudian. Smith dan Carlos pada akhirnya mendapat gelar kehormatan di AS karena dianggap telah memperjuangkan persamaan HAM di Negeri Paman Sam.
Pada 28 Agustus 1963, Martin Luther King Jr menyampaikan pidatonya yang abadi sepanjang masa, "I Have a Dream" di kaki patung Abraham Lincoln, 'Sang Pembebas Budak'.
"I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin but by the content of their character." - "Aku punya mimpi, suatu hari nanti 4 anakku bisa hidup di sebuah negara di mana mereka dinilai tidak berdasarkan warna kulit, tapi oleh karakter mereka."
Atas perjuangan tersebut, persamaan warga di AS semakin lama semakin diperhatikan. Kini, Presiden Amerika Serikat dipimpin warga kulit hitam, Barack Obama.
Sejarah lain mencatat pada 17 Oktober 1933, Albert Einstein yang sedang melarikan diri dari kejaran Jerman Nazi, pindah ke Amerika Serikat.
Kemudian pada 17 Oktober 1968, Usman dan Harun, anggota Korps Komando Operasi Militer Indonesia, dihukum gantung oleh pemerintah Singapura dengan tuduhan meletakkan bom di wilayah pusat kota Singapura yang padat.