Liputan6.com, Solo - Saiki jamane jaman edan. Yen ora edan ora keduman. Sak bejo bejone wong kang edan. Isih bejo wong kang eling lan waspada (Sekarang zamannya zaman gila. Kalau enggak gila enggak dapat bagian. Seberuntung-beruntungnya orang yang gila itu, masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada).
Selarik syair kuno ini kerap digemakan khalayak luas, terutama masyarakat Jawa. Karya dari pujangga Jawa, Raden Ngabehi Rangga Warsita atau Ronggowarsito ini kerap dilontarkan sebagai bentuk kegelisahannya atas kondisi masyarakat yang serba tak menentu.
Banyak dan sering terlontarkan, namun tak sedikit juga yang belum memahami tentang latar belakang dari karya sastra Ronggowarsito bertajuk "Zaman Edan" itu. Guna memberikan pemahaman secara luas mengenai karya sastra itu, Museum Radya Pustaka saat ini memamerkan karya-karya Ronggowarsito.
Pameran ini sebagai salah satu bentuk perayaan Hari Ulang Tahun ke-126 Museum Radya Pustaka, Solo, Jawa Tengah, yang akan jatuh pada 28 Oktober mendatang.
Baca Juga
Advertisement
Berdasarkan informasi yang diperoleh Liputan6.com, Minggu (16/10/2016), ada sembilan karya sastra yang dipamerkan sejak 10 Oktober hingga 28 Oktober mendatang. Bukan hanya serat yang memuat tentang Zaman Edan, ada karya sastra lain yang berisi tentang wejangan sufi dan ramalan Jawa. Seluruh karya sastra ini ditulis dalam kertas Eropa dengan aksara Jawa.
Ada Serat Jayengbaya yang ditulis Ronggowarsito pada tahun 1831. Ini merupakan karya sastra pertama dari Ronggowarsito. Serat Jayengbaya ditulis saat Ronggowarsito masih jadi abdi dalem mantri carik Kadipaten Anom dengan gelar M Ng Sarataka. Serat ini memiliki arti kemenangan atas bahaya.
Menceritakan tentang Jayengbaya yang suka berkhayal, mulai dari penari, pedagang, pengemis hingga jadi berkhayal jadi Tuhan. Tetapi dalam khayalan ia takut disambar bledek (geledek), ia pun memilih jadi diri sendiri.
Kemudian ada juga serta masterpiece dari Ronggowarsito yang hingga saat ini sering terdengar, yaitu Serat Kalatidha yang disusun tahun 1837. Serat disusun dalam bentuk macapat tembang sinom. Disusun dalam 12 bait. Dalam bait 7 ada judul "Zaman Edan". Nah penggalan inilah yang sampai sekarang masih populer meski sudah berusia lebih dari 300 tahun.
Banyak yang mengira bahwa karya sastra ini adalah ramalan. Tapi, sejatinya latar belakang dari pembuatan karya sastra ini adalah hal yang dialami sendiri Ronggowarsito pada zaman itu.
Menceritakan kesedihan sang pujangga karena janji raja akan menaikkan pangkatnya. Akibat kegembiraan terlalu hingga menghilangkan kewaspadaan dan akhirnya hanya dipermalukan karena terlena dengan janji manis yang tidak ditepati.
Menurut pengelola manuskrip Museum Radya Pustaka, Totok Yasmiran, serat Kalatidha adalah salah satu serat yang paling sering dicari oleh masyarakat luar. Berawal dari hal itu, pihak museum sengaja menyajikan pameran naskah kuno dari Ronggowarsito.
"Pameran ini rutin kami lakukan setiap tahun saat bulan Suro. Setiap tahun temanya beda-beda. Jika tahun lalu, temanya bernuansa Islam, tetapi sekarang karya sastra dari Ronggowarsito," ucap Totok, belum lama ini.
Selain dua naskah itu ada juga Serat Jaka Lodhang yang dibuat pada tahun 1870. Serat Jaka Lodhang merupakan gambaran ratapan zaman Kalabendu (kesusahan) dan meramalkan kedatangan zaman keemasan dalam bentuk macapat tembang gambuh. Dalam karya ini memuat ramalan yang dilengkapi dengan kejadian yang diramalkan dan ditulis dalam bentuk sengkalan, yakni kalimat yang setiap kata-kata mewakili angka tahun Jawa.
Dalam naskah ini dituliskan tahun 1920 akan terjadi bencana. Tahun 1930 masuk masa penyesalan. Dan tahun 1945 menjadi tanda mulainya masa keemasan.
"Harapannya semoga dengan pameran naskah kuno ini, masyarakat bis memahami mengenai khazanah karya sastra Jawa yang begitu beragam," pengelola manuskrip Museum Radya Pustaka itu memungkasi.