Liputan6.com, Yogyakarta - Sebanyak 40 lembar kain batik dipamerkan dalam perhelatan Batik dan Batok Night Kampung Wisata Budaya Langenastran di Ndalem Daradjaten pada Sabtu malam, 15 Oktober 2016. Yang istimewa dari pameran itu adalah seluruh kain batik merupakan koleksi pribadi Keraton dan Pakualaman Yogyakarta.
"Batik-batik kuno ini tidak ada di museum batik Keraton dan belum terpublikasikan," ujar Sumartoyo, Ketua Paguyuban Kampung Wisata Langenastran di sela-sela acara.
Ia menjelaskan batik yang dipamerkan antara lain koleksi dari putri Sultan HB IX GBRAy Murdokusumo, permaisuri PA X GKBRAy A Paku Alam X, dan GBPH Prabukusumo yang merupakan warisan dari ibundanya.
Menurut dia, permaisuri sejak zaman dulu selalu membatik untuk kepentingan adat kerajaan. Salah satu batik tertua yang dipamerkan adalah Kotak Nitik. Proses pembuatannya rumit karena setiap kotak memiliki motif yang berbeda.
Ada sekitar 30 motif berbeda pada lembar batik yang dibuat awal 1900, sebelum Sultan HB IX berkuasa. Batik itu ternyata juga dipakai Sultan HB IX dalam upacara, seperti grebeg.
Ada juga batik Parang Cokong yang dibuat oleh KRAy Retno Wilanten, istri Sultan HB VIII yang digunakan saat GBRAy Murdokusumo melaksanakan upacara tetesan pada 1950.
Batik Klitik Bligon Nitik yang pernah hilang juga dipamerkan. Batik buatan GRAy Sindurejo, putri Sultan HB IX, itu terbawa kolektor saat pameran. Setelah bisa ditemukan dalam sebuah pameran beberapa waktu kemudian, batik tersebut diduplikasi dan yang asli dikembalikan ke keraton.
Baca Juga
Advertisement
Ada pula batik yang dibuat permaisuri PA X karena terinspirasi dari naskah kuno Pakualaman, antara lain, Batik Indra Widagda, yang merupakan simbol dari teladan Bathara Indra yang tiada henti mencurahkan ilmu pengetahuan.
Makna filosofis yang terkandung di dalamnya adalah seorang pemimpin yang baik harus memperhatikan kemajuan intelektual masyarakat yang dipimpinnya. Dia juga harus berwawasan luas sehingga dapat dijadikan tempat untuk bertanya.
Ada pula Batik Yama Linapsuh, berasal dari Yama atau Bathara Yamadipati dan Linapsuh yang berarti terbasmi atau disirnakan. Makna motif batik ini adalah simbol dari teladan Bathara Yamadipati sebagai penegak hukum dan penumpas kejahatan.
Seorang pemimpin yang baik, kata Sumartoyo, harus mampu bersikap adil dan tegas dalam menegakkan hukum. Hukum harus diterapkan merata, termasuk anggota keluarganya sendiri.
Batik Baruna Wicaksana merupakan simbol dari teladan Bathara Baruna sebagai pujangga yang cerdas dan bijaksana. Seorang pemimpin yang baik perlu memiliki kepandaian, sikap yang bersahaja, dan mampu mengayomi.