Kadin Minta Revisi UU Persaingan Usaha Tak Matikan Pengusaha

Pengusaha menilai hukum persaingan usaha seharusnya dibuat tidak memberatkan atau menghambat kegiatan usaha di suatu negara.

oleh Nurmayanti diperbarui 17 Okt 2016, 14:45 WIB
Pengusaha menilai hukum persaingan usaha seharusnya dibuat tidak memberatkan atau menghambat kegiatan usaha di suatu negara.

Liputan6.com, Jakarta Kamar Dagang dan Industri (Kadin) meminta revisi UU Persaingan Usaha dan usulan Komisi Persaingan Usaha (KPPU) harus memperhatikan pengusaha.

Pengusaha kini tengah resah mencermati usulan revisi perubahan pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang sedang diperjuangkan KPPU dalam bentuk Rancangan Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (RUU Persaingan Usaha Tidak Sehat).

Menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani, hukum persaingan usaha seharusnya dibuat tidak memberatkan atau menghambat kegiatan usaha di suatu negara. Namun ini disusun untuk memajukan dan mendukung perekonomian nasional.

Berbagai kajian komprehensif perlu dilakukan melalui penyusunan naskah akademik, mencakup berbagai aspek seperti ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Ini perlu segera dilakukan sebelum pengesahan RUU Persaingan Usaha berlaku, dengan melakukan perbandingan hukum persaingan usaha yang umum dan berlaku secara universal.

Dalam revisi aturan, KPPU mengusulkan denda atas pelanggaran ketentuan dalam RUU Persaingan Usaha dengan nilai tertinggi yang sangat signifikan, yaitu 50 persen dari omzet perusahaan dalam masa pelanggaran, dengan nilai denda maksimum Rp 2 triliun atau pidana penjara selama 2 tahun.

"Rencana pengenaan sanksi tersebut dalam pandangan Kadin dipandang tidak wajar dan berpotensi mematikan pelaku usaha yang terkena sanksi tersebut. Jika perusahaan yang bersangkutan hendak mengajukan keberatan terhadap keputusan tersebut, yang bersangkutan harus membayar 50 persen dari denda yang ditetapkan," kata dia, Senin (17/10/2016).

Dia mengakui penguatan kewenangan bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) perlu dilakukan. Namun demikian mekanisme dan pelaksanaannya perlu diatur dengan jelas, sehingga tidak disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak bertanggung jawab.

Menurut dia, KPPU selayaknya tidak bertindak menjadi regulator seluruh kegiatan penggabungan usaha (merger), pengambilalihan (akuisisi), dan pembentukan usaha patungan yang dilakukan  pelaku usaha perdagangan dan perindustrian di tanah air. "Namun dapat dibatasi pada pengawasan terhadap aksi korporasi tersebut, yang berpotensi menghambat persaingan,” jelas Rosan.

Berdasarkan PP Nomor 57/2010 tentang Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan yang Dapat Mengakibatkan Terjadinya Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pelaku usaha wajib melakukan pemberitahuan mengenai penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan kepada KPPU, jika memenuhi batasan nilai yang dihitung dari perusahaan yang melakukan corporate action sampai dengan nilai ekuitas ultimate shareholders (pemegang saham tertinggi), yaitu nilai aset badan usaha hasil penggabungan atau peleburan atau pengambilalihan melebihi Rp 2,5 triliun.

Atau nilai penjualan (omzet) badan usaha hasil penggabungan atau peleburan atau pengambilalihan melebihi Rp 5 triliun.

Dalam RUU Persaingan Usaha ini, tambah Rosan, ketentuan post notification berubah menjadi pre notification, yang artinya pelaku usaha, karena harus menunggu hasil analisa dan rekomendasi KPPU melalui keputusan boleh/tidak bolehnya dilakukan merger dan akuisisi oleh perusahaan, sebelum aksi korporasi tersebut dilakukan.

“Mengenai hal ini perlu dipelajari implikasinya, apakah akan menghambat keputusan bisnis dan investasi usaha di Indonesia, sehingga menjadikan perkembangan ekonomi terpuruk, atau terbukti dapat mendukung perkembangan usaha di Indonesia,“ tutur dia.

Terkait hak menggeledah perusahaan dan menyita aset pelaku usaha yang diminta KPPU tersebut, diharapkan tetap menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah dan mencerminkan citra Indonesia sebagai negara hukum. Sehingga, sudah sewajarnya KPPU perlu meminta izin kepada lembaga pengadilan yang ada terlebih dahulu, apabila unsur kecurigaan awal yang memadai telah dipenuhi, sebelum melakukan tindakan tersebut.

“Negara perlu menjamin kepastian hukum dan harmonisasi kewenangan setiap institusi dan lembaga negara, termasuk instansi yang berwenang menangani tindakan korporasi perusahaan. Ketentuan krusial lain adalah, penerapan sanksi pidana terhadap pihak-pihak yang dianggap menghalangi, mencegah atau menggagalkan investigasi KPPU, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena dapat berpotensi disalahgunakan,” tegasnya.

Itu sebabnya Rosan menekankan, perlu dilakukannya pembenahan internal oleh KPPU sebagai lembaga negara melalui peningkatan sumber daya yang ada untuk memperoleh informasi, menganalisa data, dan pemahaman kegiatan ekonomi dalam kerangka kepentingan nasional, sehingga selayaknya menghindari penerapan sanksi dan peraturan yang dapat mematikan kelangsungan dunia usaha di tanah air, atau KPPU meminta data atau keterangan yang memberatkan pelaku usaha.

Karena itu pelaku usaha mengharapkan adanya jaminan kerahasiaan dokumen perusahaan yang diminta KPPU dalam proses perolehan data, penyidikan, penyelidikan, pemeriksaan, dan persidangan. Dunia industri dan perdagangan menantikan pemerintah turun tangan melakukan kajian komprehensif, untuk penyempurnaan RUU Persaingan Usaha tersebut (new competition law) yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).(Nrm/Ahm)


Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya