Liputan6.com, Jakarta - Komisi XI DPR menyetujui permohonan penggunaan Barang Milik Negara (BMN) sebagai aset penjaminan (underlying asset) senilai Rp 33,45 triliun di 2016. Aset negara tersebut menjadi dasar penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) untuk menutup defisit anggaran.
"Komisi XI DPR dapat menerima permohonan persetujuan penggunaan BMN berupa tanah dan bangunan Rp 33,45 triliun sebagai underlying asset SBSN 2016," kata Ketua Komisi XI, Mechias Marcus Mekeng saat membacakan kesimpulan di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (18/10/2016).
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Robert Pakpahan mengungkapkan, surat utang berbasis syariah ini pertama kali diterbitkan pada 2008 sebesar Rp 4,7 triliun dan menjadi Rp 173,8 triliun di 2016.
Secara akumulasi sejak 2008 sampai Oktober 2016, penerbitan SBSN telah mencapai nilai Rp 559,67 triliun. Total outstanding per 6 Oktober 2016 senilai Rp 407,16 triliun. Kontribusi penerbitan SBSN bruto di tahun ini sebesar 27,5 persen.
Baca Juga
Advertisement
"Aturan main gunakan underlying asset sebagai dasar penerbitan SBSN supaya tidak dianggap riba. Dipakai BMN dengan meminta persetujuan DPR, tapi penggunaan BMN sebatas hak manfaat bukan hak kepemilikan sehingga bukan digadaikan," jelas Robert.
BMN sebagai underlying asset terakhir kali melalui persetujuan DPR, diakuinya, sebesar Rp 29,49 triliun. Hingga Agustus tahun lalu, total nilai underlying asset yang digunakan kembali untuk penerbitan SBSN sebesar Rp 157,8 triliun.
"Per 6 Oktober ini tersisa BMN sebagai underlying asset yang belum terpakai Rp 7,37 triliun sehingga dengan jumlah itu kita kesulitan menerbitkan sukuk dalam waktu dekat," ujar Robert.
Untuk tahun ini, Ia menuturkan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati telah mengajukan ke Komisi XI untuk penggunaan kembali BMN sebagai underlying asset senilai Rp 33,45 triliun di 2016.
"Kalau di 2017, jumlah BUMN yang dimintai persetujuan Rp 43,6 triliun di 50 Kementerian/Lembaga dengan jumlah 9.998 unit BMN berupa tanah dan bangunan," jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Menkeu Sri Mulyani menegaskan aset yang dijaminkan hanya hak manfaatnya bukan barang fisik. Jadi dipastikan tidak mudah berpindah tangan meskipun negara mengalami kesulitan membayar imbal hasil instrumen surat utang syariah.
"Kita buat kontrak apabila negara sulit membayar kembali, maka instrumen ini bisa direstrukturisasi. Jadi tidak langsung diambil gedung atau tanah oleh investor," ujar Sri Mulyani.
Ia mengatakan, Kemenkeu akan melakukan revaluasi aset sederhana terhadap seluruh BMN yang menjadi underlying asset berdasarkan formula dalam pengelolaan aset. Dengan begitu, tidak perlu menerjunkan orang untuk merevaluasi seluruh aset tapi nilai tetap mengikuti pergerakan harga pasar terkini.
"Jangan ada stigma kita menggadaikan aset, sehingga kita tidak akan mampu mengembangkan instrumen syariah. Sebab pasar surat utang syariah sangat besar dan ini bisa menjadi instrumen pembiayaan kita," harap Sri Mulyani. (Fik/Ahm)